Minggu, 09 September 2012

tenganan dauh tukad


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Penduduk Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (pedalaman) Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali Mula “ yaitu orang-orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini mandahului penduduk Bali Pedataran ( Bali Majapahit ). Orang-orang yang termasuk kedalam kelompok Bali Aga merupakan kelompok orang yang telah memiliki kebudayaan yang cukup ber-nilai tinggi. Beberapa peninggalan yang masih dapat ditemukan sampai sekarang memperlihatkan cirri-ciri yang berbeda dengan kebudayaan belakangan yaitu kebudayaan yang dibawa oleh orang - orang Bali Pedataran (Bali Majapahit). Ciri-ciri pokok yang menonjol dalam masyarakat Bali Aga meliputi pola kehidupan, pola kemasyarakatan dan pola pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Pola kehidupan yang sangat nyata pada kehidupan masyarakat Bali Aga, menampakkan corak komunal yaitu  suatu ciri yang menekankan bentuk kehidupan dalam situasi kebersamaan. Corak kebersamaan nampak dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara gotong royong baik dalam situasi suka atau situasi duka. Ciri kehidupan gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga tersebut secara implisit merupakan corak kehidupan asli kehidupan masyarakat Indonesia.
 Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Yang dimaksud dengan desa Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan luas bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun tetap dipertahankan. Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin). Secara administratif desa Tenganan terbagi dalam lima banjar dinas, yakni Dauh Tukad, Pegringsingan,  Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Pegringsingan dan Dauh Tukad, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam budaya.
Desa Adat Tenganan Dauh Tukad memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh menjadi Desa Wisata dengan lingkungan desa yang  asri, tradisional dan eksotik. Salah satu atraksi sakral yang dimiliki adalah Megeret Pandan (Perang Pandan), Metekrok, Tuun Medaa dan Meteruna setiap pelaksanaan Aci Usabha Sambah tepat pada Sasih Kelima  menurut perhitungan wariga setempat, selain itu Desa Tenganan Dauh Tukad ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan biu (perang buah pisang).
Sebagaimana diketahui  prosesi upacara Megeret Pandan, Nulak Damar, Daa Teruna Nyambah, Metekrok, Anyunan adalah teradisi ini merupakan budaya ritual aliran Indra atau bisa disebut tradisi pra Hindhu Majapahit yang ada di Desa Bali Aga Tenganan Pagringsingan, namun di Desa Tenganan Dauh Tukad budaya itu juga ada yang menyatu dan bercampur dengan budaya adat setempat yang dominan beraliran ciwa (tradisi Hindhu Majapahit). Desa Adat Tenganan Dauh Tukad juga memiliki teradisi yang tidak ada di Desa Tenganan Pengeringsingan yakni teradisi mesabat-sabatan biyu atau sering disebut perang pisang, tradisi inilah yang membedakan antara tenganan dauh tukad dan tenganan Pegringsingan selain adat istiadat dan awig-awignya.
Melihat kenyataan diatas tampaknya kehidupan masyarakat di desa Tenganan Dauh Tukad sangat menarik untuk dikaji, bukan saja karena berbagai keunikannya tetapi juga bagaimana Desa ini bisa bertahan dengan segala tradisinya ditengah gempuran pariwisata, karena kawasan ini menjadi maskot desa wisata di Karangasem.

1.2.Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1   Bagaimana Sejarah Desa Tenganan?
1.2.2   Bagaiman Letak Geografis Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.2.3   Bagaimana Adat Iistiadat Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.2.4   Bagaimana Perubahan Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.2.5   Bagaimana Perekonomian Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.2.6   Bagaimana Setruktur Sosial Masyarakat Tenganan Dauh Tukad?
1.2.7 Bagaiman Kerajinan Yang Menjadi Ciri Khas Di Desa Tenganan Dauh Tukad?

1.3.Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1   Untuk Mengetahui Sejarah Desa Tenganan.
1.3.2   Untuk Mengetahui Letak Geografis Desa Tenganan Dauh Tukad.
1.3.3   Untuk Mengetahui Adat Iistiadat Desa Tenganan Dauh Tukad.
1.3.4   Untuk Mengetahui Perubahan Masyarakat Desa Tenganan Dauh    Tukad
1.3.5   Untuk Mengetahui Perekonomian Masyrakat Desa Tenganan Dauh Tukad
1.3.6   Untuk Menhgetahui Struktur Sosial Masyrakat Tenganan Dauh Tukad
1.3.7   Untuk Mengetahui KerajiananYang Menjadi Ciri Khas Desa Tenganan Dauh Tukad.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Desa Tenganan
2.1.1 Sejarah Desa Tenganan

Keberadaan Desa Tenganan Dauh Tukad tidak bisa dipisahkan dari sejarah Desa Tenganan sebagai cikal bakal desa ini. Untuk itu terlebih dahulu kita harus mengetahui bagaimana sejarah  Desa Tenganan itu sendiri. Daerah Tenganan berawal saat pemerintahan Raja Maya Denawa. Pada zaman Bali Kuno dikenal seorang raja yang sangat otoriter dan menganggap dirinya sebagai Tuhan dan melarang masyarakatnya melakukan persembahan kepada Tuhan. Para dewa menjadi sangat murka dan mengutus Dewa Indra untuk memerangi Raja Maya Denawa.
Setelah Dewa Indra dapat mengalahkan Raja Maya Denawa, dilakukan satu upacara untuk membersihkan dan menyucikan kembali tempat peperangan dan dunia secara keseluruhan. Upacara yang dilakukan disebut dengan ''Asvameda Yadnya'', menggunakan korban atau caru seekor kuda putih milik Dewa Indra sebagai korban persembahan yang bernama Oncesrawa. Ketika mengetahui dirinya akan dijadikan korban, kuda Oncesrawa melarikan diri dan menghilang.
Dewa Indra kemudian mengutus ''wong peneges'' prajurit Bedahulu untuk mencari kuda tersebut. Mereka membagi diri menjadi dua kelompok, satu kelompok ke arah Singaraja dan satu kelompok yang lain ke arah Karangasem. Kelompok yang pergi ke arah Karangasem kemudian menemukan bangkai kuda Oncesrawa di lereng bukit, di daerah utara. Karena kecintaannya terhadap kuda tersebut, ''wong peneges'' memohon kepada Dewa Indra agar mengijinkan mereka tinggal di sekitar Batu Jaran, tempat bangkai kuda ditemukan.
Dewa Indra mengabulkan permohonan ''wong peneges'' dan memberikan hadiah atas usaha mereka. Hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra berupa wilayah kekuasaan, dengan batasan luas sampai bau bangkai kuda tidak lagi tercium. Karena menginginkan wilayah yang luas, ''wong peneges'' kemudian memotong bangkai kuda dan dibawa berjalan sejauh mungkin. Tindakan tersebut diketahui oleh Dewa Indra yang kemudian datang dan berdiri di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan Batu Madeg. Ketika Dewa Indra tiba di Batu Madeg, ''wong peneges'' sudah sampai di satu daerah yang cukup jauh. Dewa Indra melambaikan tangan dari Batu Madeg dan memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai ''wong peneges'' sudah cukup luas. Pada tempat ''wong peneges'' tersebut berhenti kemudian didirikan Pura Pengulap-ulapan . Batas-batas wilayah ini oleh masyarakat dikenal dengan nama Desa Tenganan.
Wilayah Tenganan ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra, maka masyarakatnya menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang.

2.1.2 Sejarah Desa Adat Tenanan Dauh Tukad

Desa Adat Tenganan Dauh Tukad juga memiliki kaitan sejarah dengan desa tetangga lainnya seperti Desa Tenganan Pesedahan (nama dalam prasasti desa) dan Desa Tenganan Pagringsingan (desa Baliaga yang sudah dikenal), yang tercatat dalam lontar Babad Rusak De Dukuh dan Gegaduhan Desa Tenganan Pesedahan yang menyebut ada tiga komplek Tenganan yakni Tenganan Dauh Tukad, Tenganan Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, menyatu dalam satu kiblat penyungsungan untuk mepahayu di Pura Rambut Petung yang ada di wilayah Desa Adat Pesedahan sekarang.

Sekitar abad 17 saat kejayaan I Gusti Ngurah Sidemen, penguasa tanah perdikan setempat Dukuh Mangku yang sakti tinggal di Tenganan Dauh Tukad memiliki satu putra, atas titah Dalem Gelgel putranya diminta untuk menjadi juru kurung. Namun Dukuh Mengku menolak karena merasa hanya memiliki satu putra yang akan meneruskan keturunannya. Atas penolakan itulah Dalem Gelgel marah dan mengutus I Gusti Ngurah Sidemen (Mangku Basukih) menjalankan perintah Raja. Bersama I Gusti Ngurah Abiantimbul, I Gusti Ngurah Sidemen didukung prajurit menyerang Dukuh Mengku dari arah selatan. Banyak rakyat Dukuh Mengku tewas dalam perang hebat hingga di wilayah tegal penangsaran (nama dalam babad) yang dikenal dengan Lapangan Pakuwon Desa Pesedahan sekarang. Rakyat Dukuh Mengku akhirnya kalah, Dukuh Mengku pun berfikir lalu membersihkan diri berpamitan seraya tangkil menyembah ke Pura Rambut Tiding, mohon pamit kepada Ida Sesuhunan untuk melakukan perang puputan. Usai sembahyang lalu berpakaian serba putih turun ketimur melewati Tukad Pesedahan tiba di Lapangan Pakuwon (disebut Tegal Panangsaran dalam babad ) itulah, Dukuh Mengku direbut oleh I Gusti Ngurah Sidemen dan I Gusti Ngurah Abiantimbul tewas. Sisa rakyat Dukuh Mengku lari tunggang langgang mengungsi ke bukit sebelah barat dan berbagai arah. Kekalahan Dukuh Mengku ini setelah dilaporkan kepada Dalem Gelgel, lalu diperintahkan agar krama yang masih ada diberikan hak istimewa tidak dikenakan cecamputan kepada penduduk di Dauh Tukad dan tidak mengambil istri untuk raja, yang selanjutnya diteruskan oleh trah raja yang memerintah di Karangasem, tradisi itupun berlangsung sampai sekarang. Setelah itu Raja Dalem Gelgel memerintah I Gusti Ngurah Tenganan untuk menata dan membangun desa lokasi peperangan di Tenganan Pesedahan karena teringat akan kewajiban Mapahayu di Pura Rambut Petung sebagai salah satu penyungsungan Raja yang perlu diperhatikan. Sedangkan di Dauh Tukad diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Sidemen keturunan I Gusti Ngurah di Tenganan bernama I Made Mencur kemudian diteruskan I Made Bendesa ditugaskan melaksanakan pemerintahan dan aci-aci di Pura-Pura setempat termasuk di Pura Petung.

Hingga kini sejarah Tenganan Dauh Tukad masih memiliki hubungan dengan Desa Adat Pekarangan, Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, baik dalam prosesi upacara maupun hubungan antar pakraman (penyamabrayaan). Budaya campuran yang ada di Desa Pakraman Ttenganan Dauh Tukad atas pengaruh dua masa berbeda pra Majapahit dan masa majapahit masih terpelihara hingga kini.
2.2 Letak Geografis Desa Tenganan Dauh Tukad.
Salah satu desa kuno yang tidak kalah unik yang ada di Karangasem adalah Desa Adat Tenganan Dauh Tukad. Desa yang terletak di kaki bukit Pegilihan, Tenganan Dauh Tukad dapat ditempuh lewat jalan mulus berhotmix sekitar 2,5 Km dari jalan raya menuju Desa Bali aga Tenganan Pagringsingan atau sekitar 23 Km dari Kota Amlapura.
Desa Adat yang memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh menjadi Desa Wisata dengan lingkungan desa yang  asri, tradisional dan eksotik. Salah satu atraksi sakral yang dimiliki adalah Megeret Pandan (Perang Pandan), Metekrok, Tuun Medaa dan Meteruna setiap pelaksanaan Aci Usabha Sambah tepat pada Sasih Kelima  menurut perhitungan wariga setempat.

2.3 Adat Istiadat Desa Tenganan Dauh Tukad
Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.
Penduduk Desa Tenganan Dauh Tukad ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan biu atau perang buah pisang. Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam tes psikologis dan fisik bagi calon pemimpin desa. Diikuti oleh teruna Desa Adat Tengana Dauh Tukad, yang tujuannya untuk mencari pemimipin, yang dipilih untuk menjadi calon pemimipin ada dua orang, yakni saya atau calon pemimipin dan penampih atau wakil calon pemimipin. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat yakni sekitar bulan Juli akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan atau perang pandan. Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Perang pandan disini mempunyai makna yaitu untuk pengormatan Dewa Indra yang sering disebut dewa perang. Walaupun tradisi ini akan menimbulkan luka, mereka sudah  memiliki obat antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat.
Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai Dewa Perang. Di desa Tenganan Dauh Tukad ini juga terdapat tradisi Ngejot antara Teruna-Daa di Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad hingga kini masih lestasi dilaksanakan  dalam ritual  prosesi upacara agama terkait Aci Usaba Sambah di desa setempat. Sebagai bagian dari prosesi Usabe Sambah upacara Teruna-Daa Ngejot dipusatkan di Pura Bale Agung, dengan prosesi sebelumnya dilakukan di masing-masing subak atau pusat aktifitas upacara Teruna maupun yang dipusatkan di Pura Bale Agung  yang menstanakan  pemujan terhadap Dewa Brahma, sebagai symbol Dewa pencipta alam semesta. Upacara yang digelar selama 15 hari diawali Nedunang Ida Betara, Nulak Damar, Penampahan, Metekrok, Daa Nyambah, Mekare-kare (Perang Pandan), Ngepik, Perejangan dan Nyineb.  Dalam rangkaian upacara Ngepik  dilaksanakan prosesi upacara adat Sekaa Teruna yang disebut Teruna-Daa Ngejot  sebagai simbol menanamkan nilai pendidikan, kegotong-royongan dan manyama braya agar bisa hidup harmonis berdampingan saling menolong antara tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ngejot juga wujud membagi rezeki yang diperoleh untuk dirasakan  bersama-sama. Dengan menggunakan pakaian adat khas  Tenganan Dauh Tukad, Teruna-Daa mengikuti prosesi upacara secara khusuk diselingi suasana riang gembira saling bersorak tatkala antara Teruna – Daa melakoni prosesi Ngejot, sambil mengucapkan pesan-pesan dari perwakilan masing-masing. Prosesi Ngejot antara Teruna dan Daa diawali oleh Sekaa Teruna ngejot membawakan seperangkat jotan berisi bunga harum, minyak wangi yang mengandung makna menghormati dan menghargai wanita dengan simbol pemberian bunga dan wewangian yang menjadi kesenangan  wanita. Sebaliknya pihak Daa memberikan jotan berupa aneka macam jajan khas Bali yang bertempat di Bale Agung dan dibalas kembali oleh Sekaa Teruna dengan jotan berupa nasi, sate dan bermacam olahan masakan Bali. Sebagai symbol kebersamaan uacara Teruna-Daa Ngejot diakhiri dengan makan bersama di halaman Pura Bale Agung, dimana terjadi interaksi sosial pergaulan antara Teruna dan Daa yang mempererat persatuan dan kekerabatan.
Selain itu ada sebuah teradisi yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat Bali Aga adalah tradisi megibung atau yang biasa disebut makan bersama dalam satu tempat makan. Megibung ini mempunyai makna untuk penyetaraan dan kebersamaan untuk menunjukkan bahwa di Desa Teganan Dauh Tukad tidak ada kasta dan penggolongan sosial.
2.4 Perubahan Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad.
Desa Tenganan Dauh Tukad sangat benyak mengalami perubahan. Ini bisa dilihat dari adat istiadat desa yang dulunya masyarakat di desa Tenganan Dauh Tukad tidak diperbolehkan kawin atau mengawini orang selain dari dalam desa, Ssecara umum di berbagai daerah di Indonesia dikenal adanya 3 sistem perkawinan yaitu.
1.      Sistem Endogami adalah system perkawinan ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri.
2.      System Eksogami adalah system perkawinan ini orang di haruskan kawin dengan orang dari luar suku keluarga.
3.      System Eleutherogami adalah system perkawinan ini tidak mengenal larangan atau keharusan seperti dalamperkawinan endogami maupun eksogami. Larangan yang terdapat dalam system perkawinan eleutherogami adalah larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan.
Ketiga system perkawinan tersebut di atas merupakan system perkawinan yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia, hal ini menandakan bahwa tiap-tiap daerah memiliki ketentuan-ketentuan atau hukum adat yang sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.
Tetapi seiring bejalannya waktu dan majunya zaman teradisi Endogami ini di hilangkan, sekarang masyarakat di Desa Tenganan Dauh Tukad boleh bebas kawin dan mengawini orang yang bukan masyarakat Tenganan. Selain itu perubahan lain yang terjadi di Desa Tenganan dari dulu mata pencarian masyarakatnya dominan sebagai petani namun seiring perkembangan zaman, sekarang sebagian besar sebagai pelaku pariwisata, karena desa ini menjadi desa wisata dan juga banyak juga masyarakatnya yang brkerja keluar dari desanya, sehingga mereka mengambil pekerjaan di luar sector pertanian..
Aktivitas mata pencaharian, boleh mengalami pergeseran, sedangkan aktifitas yang menyangkut tuntutan adat masih tetap terjalin. Desa yang di masa lalu mengutamakan kepentingan spiritual dan kebersamaan kini secara nyata mulai bergeser ke arah kepentingan komersial dan pribadi. Hal tersebut juga tercermin dalam rumah tinggal masyarakat, baik halaman dalam atau natah maupun ruang dalamnya. Dalam pekarangan, masih terdiri beberapa tipe bangunan bale-bale, tetapi pada aktifitas sehari-hari maka terlihat adanya pengaburan fungsi bale-bale tersebut. Dalam hal ini unsur kepentingan ekonomi memegang peranan yang cukup besar dalam pemanfaatan ruang. Pada sebagian besar pekarangan terjadi perluasan ke arah belakang sehingga daerah madia dan natah menjadi lebih luas untuk berfungsi sebagai tempat menjual barang-barang kerajinan. Bangunan-bangunan yang tidak diwajibkan mengalami perubahan lebih besar dibandingkan bangunan-bangunan yang diwajibkan, Dari material bangunan kebanyakan menggunakan hasil industri, yang dulunya hanya menggunakan hasil alam seperti batu sungai, batu bata, tanah liat dan alang-alang sebagai atapnya, dalam pembangunan bangunan baru, cenderung terjadinya modifikasi dari tradisional menuju model moderen. Perubahan juga terjadi pada struktur masyarakatnya yang semula dipimpin oleh seorang dukuh/kubayan sekarang dipimpin oleh Bendesa Adat atau yang disebut dengan nama Bendesa pekraman. Dalam kebudayan terjadi perkembangan seperti bahasa, selain menggunakan bahasa bali dengan dealek khas yang fonetisnya menggunakan /o/, selain itu masyarakat juga menggunakan bahasa bahasa Indonesia apabila berbicara dengan penduduk luar.
2.5 Perekonomian Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad
Aktivitas keseharian warga Tenganan Dauh Tukad yakni bertani atau pun menekuni usaha kerajinan tangan. Desa Tenganan Dauh Tukad memiliki lahan tegalan yang cukup luas. Lahan itu ada yang digarap sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang luar dan warga Tenganan Dauh Tukad hanya menerima hasilnya hal ini dilakukan karena para pemuda tidak lagi mau bekerja sebagai petani dan lebih banyak memilih bekerja ke luar desa atau merantau karena memungkinkan  mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Selain bergerak dalam sektor pertanian warga Tenganan Dauh Tukad juga bergerak dalam bidang usaha kerajinan yang ditekuni berkaitan erat dengan keberadaan desa ini sebagai desa wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan Kain Geringsing, ada yang membuat anyaman atta, membuat lontar serta aneka cenderata mata untuk wisatawan. Sebagian besar hasil karya masyarakat Tenganan Dauh Tukad di jual di desanya dan sebagian lagi di jual keluar desa seperti arthshop dan toko-toko penjual hasil kerajianan.  Menurut penuturan Wayan Swarnata, penyarikan desa pekraman Tenganan Dauh Tukad, mengungkapkan bahwa hasil pertanian masyarakat Tenganan Dauh Tukad 50% yang menghasilkan hasil kelapa, buah-buhan dan pisang, 20% adalah home industri yang menghasilkan kain tenun, lontar, basket atau keranjang yang terbuat dari tanaman atta yang dianyam berbentuk keranjang dan barang lainnya, selain bekerja di desa 20%  masyarakatnya bekerja keluar desa atau yang sering disebut merantau, dan 10 % nya lagi sebagai pelajar dan juga sebagai PNS..
2.6 Struktur Sosial Masyarakat Tenganan Dauh Tukad
Secara administratif Desa Tenganan terbagi dalam lima Banjar dinas, yakni Pegringsingan, Dauh Tukad, Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Tenganan Dauh Tukad terdapat dua banjar yakni Banjar Kaja dan Banjar Kelod. Disamping kelompok-kelompok kerabat yang mengikat orang Bali berdasarkan atas prinsip keturunan Pura Dadie, ada pula dalam bentuk kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah Khayangan Tiga, ialah desa.
Sistem pemerintahan Desa Adat tenganan Dauh Tukad Berbeda dengan Sistem pemerintahan Pada Desa-desa dataran lainnya di Bali, desa adat Bali Age biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sistem pemerintahan Desa Tenganan Dauh Tukad dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Dinas dan Adat. Secara kedinasan Desa Tenganan Dauh Tukad menjadi bagian dari Desa Dinas Tenganan Pagringsingan. Struktur adat Desa Tenganan Dauh Tukad dibagi menjadi tujuh yaitu:
  1. Kelian Lingsir, merupakan penasehat pada Desa Tenganan Dauh Tukad yang berjumlah 12 orang dengan kedudukan yang sama sebagai penesehat. Pemilihan Kelian Lingsir berdasarkan umur tertua atau yang paling dulu menikah.
  2. Penghulu, penghulu adalah penyelenggara upacara. Selain itu tugas penghulu adalah memutuskan sesuatu dalam sebuah rapat dalam menyelesaikan suatu masalah. Pemilihan Penghulu berdasarkan keturunan. Dan orang yang menjadi penghulu bukan merupakan penduduk Asli desa Adat Tenganan Dauh Tukad melainkan orang Sidemen Yang sudah lama tinggal di daerah tersebut. Perpindahan orang Sidemen ke Desa Adat Tenganan Dauh Tukad terjadi sudah sejak lama yaitu pada zaman majapahit. Orang sidemen merupakan orang kepercayaan dari kerajaan majapahit yang ditugaskan untuk memerintah di Tenganan Dauh Tukad pada zaman dulu. Sebagai rasa penghormatan dari penduduk setempat setelah zaman majapahit  orang sidemen dalam perkembangannya diberi kedudukan seperti: Penghulu dan Pemangku.
  3. Bendesa Adat atau biyasa disebut petengen, merupakan pemimpin di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad. Yang bertugas mengatur  pmerintahan, politik dan upacara keagamaan. Pemilihan bendesa adat dilakukan 5 tahun sekali, dipilih secara aklamasi oleh pendududk Desa Adat Tenganan Dauh Tukad.
  4. Penyarikan, penyarikan merupakan sekretaris yang bertugas mengurus surat-surat di desa adat.
  5. Subak Aci, yang bertugassebagai penyelenggara dan pengatur jalannya upacara. Subak disini tidak seperti subak di desa-desa lainnya yang begerak dibidang pertanian, tapi subak disini bergerak di bidang upacara keagamaan.
  6. Subak Pengeraksa atau yang bertugas sebagai bendahara tugas dari subak pengeraksa adalah mengatur keuangan Desa Adat tersebut.
  7. Saya atau juru arah, yang mempunyai tugas menyampaikan informasi kepada para penduduk desa, apabila ada rapat, dan kegiatan-kegiatan di desa tersebut. Pergantian saya dilakukan satu tahun sekali dengan orang-orang yang berbeda secara bergantian.
Masyarakat di Desa Tenganan Dauh Tukad  tidak mengenal sistem pelapisan atau pengkastaan. Semua setara atau sederajat, pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama. Ini dibuktikan dengan adanya teradisi makan bersama atau megibung maknanya untuk penyetaraan dan kebersamaan untuk menunjukkan bahwa di Desa Teganan Dauh Tukad tidak ada kasta dan penggolongan sosial.
2.7 Kerajinan Yang Menjadi Ciri Khas Di Desa Tenganan Dauh Tukad
Selain tradisinya yang unik yaitu megeret pandan atau perang pandan dan mesabat-sabatan biyu atau sering disebut perang pisang. Desa Tenganan Dauh Tukad juga terkenal dengan hasil kain tenun yang luar biyasa. Kain Gringsing, demikian kain tenun itu disebut, adalah karya kerajinan yang langka karena dibuat sangat rumit. Selain memerlukan waktu yang cukup lama dengan warna-warna yang alami dari tumbuhan, cara menenunnya pun berbeda dengan cara menenun kain pada umumnya.
Menurut Mitos Tentang Kisah Kain Tenun Gringsing, Dewa Indra dewa pelindung dan guru kehidupan bagi orang Tenganan terpesona dengan keindahan langit di malam hari dan memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, orang-orang Tenganan. Ia mengajarkan kepada wanita-wanita teknik menenun kain gringsing yang melukiskan, sekaligus mengabadikan keindahan Bintang, Bulan, Matahari, serta hamparan langit lainnya. Kain tenun berwarna gelap alami yang digunakan masyarakat setempat untuk kegiatan ritual agama atau adat dipercaya memiliki kekuatan magis. Kain ini menjadi alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh-pengaruh buruk. Keberadaan kain tenun ini terkenal di kalangan peneliti budaya dunia tidak saja dari segi mitosnya, tetapi juga dari segi teknik penenunannya.
Menenun Kain Geringsing dan dalam proses pembuatannya adalah merupakan proses yang sangat rumit dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaannya berasal dan alamiah. Kain Geringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat digunakan untuk keperluan. upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya. Menurut pandangan orang Tenganan bahwa kain geringsing mengandung nilai magis. Hal ini dikatakan demikian karena kata geringsing berasal dan dua kata yaitu gering yang berarti “sakit” atau dan sing berarti “tidak”. Dan kedua akar kata tersebut yaitu kata gering dan sing disatu padukan akan menjadi kata geringsing yang dapat berarti tidak sakit atau menolak penyakit yang dapat diperkirakan akan terhindar dan segala penyakit. Oleh karena demikian orang Tenganan mempunyai pandangan bahwa kain geringsing memiliki peranan atau fungsi yang amat penting.
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut Tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah 'babakan' (kelopak pohon) Kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar mengkudu sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.
Dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga kini yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis beberapa di antaranya adalah:
  • Lubeng, yang bercirikan dengan binatang kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
  • Sanan Empeg, dilambangkan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam.
  • Cecempakaan, dilambangkan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Ada beberapa Jenis diantaranya Cecempakaan Petang Dasa, Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur.
  • Cemplong, dilambangkan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong.
  • Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong.
  • Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok wayang.. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.
  • Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung,  kain ini seringdigunakan untuk senteng pada wanita dan sabuk tubumuhan pada pria karena ukurannya yang kecil.
Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai. Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang terlihat tegas








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (pedalaman) Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali Mula “ yaitu orang-orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini mandahului penduduk Bali Pedataran.
Menurut sebagian catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan.
Desa Tenganan Dauh Tukad sangat benyak mengalami perubahan salah satunya adat istiadat desa yang dulunya masyarakat di desa tenganan dauh tukad tidak diperboleh kawin atau mengawini orang selain dari dalam desa, tetapi seiring bejalannya waktu dan majunya zaman teradisi ini di hilangkan, sekarang masyarakat di desa tenganan dauh tukad boleh bebas kawin dan mengawini orang yang bukan masyarakat tenganan.
3.2 Saran
Untuk melestarikan kebudaya kita perlu peranan segala lapisan masyarakat. Bukan hanya diberatkan kepada pemerintah, melainkan diri kita sendiri yang menyikapi kebudayaan tersebut dengan bijaksana.




                                                                                                            
DAFTAR PUSTAKA
-          Koentjaraningrat.2002. Manusia dan kebudayaan di Indonesia.Jajarta: Djambatan
-          Asmito.1992.Sejarah kebudayaan Indonesia.Jakarta:IKIP semarang press
-          Kubu Jingga Blog.pendidikan dukuh yang digempurdalem gelgel ( sejarah tenganan dauh tukad).diunduh tanggal 18 mei 2011
-          http//.sejarah kain tenun geringsing.co.id. diunduh tanggal 18 mei 2011

6 komentar:

  1. Bro bikin artikel ini sedikit menyesatkan...banyak informasi yg diplesetkan dan tidak benar..salah satunya "Secara administratif desa Tenganan terbagi dalam lima banjar dinas, yakni Dauh Tukad, Pegringsingan, Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh." coba dah diluruskan bahwa desa tenganan dauh tukad adalah bagian dari Desa Dinas Tenganan Pagringsingan

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih komentarnya , saya pembaca dari luar, mencari penerangan tentang desa Tenganan ... Mohon bila ada yang tahu, artikel lainnya.

      Hapus
    2. terima kasih komentarnya , saya pembaca dari luar, mencari penerangan tentang desa Tenganan ... Mohon bila ada yang tahu, artikel lainnya.

      Hapus
  2. Ini judul sama isinya sedikit melenceng.
    Coba datang langsung ketempatnya.
    TENGANAN PEGRINGSINGAN MANGGIS KARANGASEM BALI
    tanyakan pada kelian ato tetua yg tau ato sangat jelas dengan desa tersebut.
    Salam wong paneges bali aga tenganan pegringsingan.

    BalasHapus