Jumat, 07 September 2012


SEJARAH NEGARA LAOS

Gambaran Umum Negara Laos
Republik Demokratik Rakyat Laos adalah negara yang daerahnya terkurung oleh daratan di Asia Tenggara, berbatasan dengan Myanmar dan Republik Rakyat Cina di sebelah Barat Laut, Vietnam di Timur, Kamboja di Selatan, dan Thailand di sebelah Barat. Laos memiliki luas wilayah sekitar 236.800 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 5.635.967 (2002). Iklim Laos adalah tropis dan dipengaruhi oleh angin musim terletak 17°58' LU 102°36' BT. Ibukota dan kota terbesar di Laos adalah Vientiane, kota-kota besar lain meliputi Luang Prabang, Savannakhet, dan Pakse.
Agama yang dianut oleh bangsa Laos adalah mayoritas agama Budha (50%) dan Tribal, agama-agama lain adalah agama Islam dan Kristen. Suku bangsa mayoritas penduduk Laos adalah suku bangsa Lao (48%), kemudian disusul Mon Khmer (25%), Thai(14%), Meo dan Yao (13%). Mata uang negara Laos adalah Kip. Bahasa resmi yang digunakan oleh penduduk Laos adalah bahasa Laos, akan tetapi ada juga bahasa daerah yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Palaungwa dan Tai. Lagu kebangsaan Negara Laos adalah Sad Lao Tang Te Deum Ma’khum Sulu Sa You Nei Asie, dan pada tanggal 19 Juli 1949 Laos memproklamirkan diri dari penjajahan Perancis dan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.
Satu-satunya partai politik yang diakui di Laos adalah Partai Revolusioner Rakyat Laos (LPRP). Kepala negara adalah seorang Presiden yang ditentukan oleh parlemen dengan masa jabatan 5 tahun. Kepala pemerentahan adalah seorang perdana menteri yang ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dari parlemen. Kebijakan pemerentahan ditentukan oleh partai melalui 9 anggota yang sangat berkuasa Politbiro dan 49 anggota Komite Pusat. Keputusan pemerintah yang penting ditentukan Dewan Menteri.
Laos menganut konstitusi baru sejak 1991. Pada tahun berikutnya, pemilu diadakan dengan 85 kursi baru Majelis Nasional yang anggotanya dipilih secara rahasia dengan masa jabatan 5 tahun. Parlemen tunggal ini diperluas sejak pemilu 1997 menjadi 99 anggota, menyetujui semua hukum baru, meskipun presidenlah yang memegang kekuasaan dengan mengeluarkan dekrit yang sifatnya mengikat. Pemilu yang terbaru dilaksanakan pada Februari 2002 ketika Majelis Nasional diperluas menjadi 109 anggota.
Pemerintah Laos - salah satu dari sekian negara komunis yang tersisa - memulai melepas kontrol ekonomi dan mengizinkan berdirinya perusahaan swasta pada tahun 1986. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi melesat dari sangat rendah menjadi rata-rata 6% per tahun periode 1988-2004 kecuali pada saat krisis finansial Asia yang dimulai pada 1997. Seperti negara berkembang umumnya, kota-kota besarlah yang paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi. Ekonomi di Vientiane, Luang Prabang, Pakxe, dan Savannakhet, mengalami pertumbuhan signifikan beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar dari wilayahnya kekurangan infrastruktur memadai. Laos masih belum memiliki jaringan rel kereta api, meskipun adanya rencana membangun rel yang menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang dikenal dengan Jembatan Persahabatan Thailand-Laos. Jalan-jalan besar yang meghubungkan pusat-pusat perkotaan, disebut Rute 13, telah diperbaiki secara besar-besaran beberapa tahun terakhir, namun desa-desa yang jauh dari jalan-jalan besar hanya dapat diakses melalui jalan tanah yang mungkin tidak dapat dilalui sepanjang tahun. Pertanian masih mempengaruhi setengah dari PDB dan menyerap 80% dari tenaga kerja yang ada. Ekonomi Laos menerima bantuan dari IMF dan sumber internasional lain serta dari investasi asing baru dalam bidang pemrosesan makanan dan pertambangan, khususnya tembaga dan emas. Pariwisata adalah industri dengan pertumbuhan tercepat di Laos. Akhir 2004 Laos menormalisasi hubungan dagangnya dengan Amerika Serikat, yang membuat produsen Laos mendapatkan tarif ekspor yang lebih rendah sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi mereka dari sektor ekspor.
Zaman Proto-Sejarah Laos
Zaman protosejarah di Asia Tenggara dapat dilihat melalui berbagai macam alat dan perkakas di bidang bercocok tanam, dan di bidang penukaran hasilnya yang berkembang, akibatnya sumber penghidupan di bidang pertanian menanjak. Dan ini mendorong meningkatnya pelayaran dan perdagangan yang berakibatkan munculnya pengaruh dari dua lingkaran kebudayaan atau peradaban di kawasan Asia Tenggara. Yang satu dari sebelah Utara Barat Laut, yaitu dari subkontinen India. Dan yang lainnya dari sebelah Utara yaitu dari Tiongkok atau Cina. Dua kebudayaan ini saling berkompetisi pada tingkat sejarah  di Asia Tenggara pada saat itu.
Perebutan pengaruh atau persilangan kebudayaan antara India dan Cina dapat kita temui di daerah Indo-Cina yakni ditemukannya alat yang berbahan perunggu yang datang dari Cina, walaupun untuk Birma dan Semenanjung Melayu mungkin juga ada pengaruh india muncul pada awal seribuan sebelum masehi di semua situs Neolitik di semenanjung itu. Perunggu baru betul-betul diterima pada abad ke-6 M, yang agaknya merupakan awal zaman Protosejarah. Contoh yang paling berarti adalah situs Sambrong Seng yang terletak di ujung selatan danau-danau besar Kamboja.  Batu tetap masih digunakan sampai masa akhir masa pendudukannya oleh manusia pada awal tahun mesehi. Namun di Sambrong Seng peralatan dari orang-orang menggunakkan perunggu bahkan mengerjakanya dengan cita rasa seni. Beberapa persamaan dekornya agaknya menunjukkan adanya kebudayaan Dong-Song di situ. Hipotesis yang sama ditunjukkan oleh hubungan atara hiasan yang luar biasa bagusnya yang dipahatkan pada tembikar Sambrong Seng, dari Sa-huynh, di Anal dan seni dari Dong-song.
Kedatangan Islam Ke Laos
Laos dikenal sebagai salah satu Negara dengan sistem pemerintahan komunis yang tersisa di dunia dengan mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Budha Theravada. Tak heran kalau Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia Tenggara. Agama Islam pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunnan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara tetangganya seperti Thailand dan Birma. Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw.
Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah: beberapa kelompok kecil komunitas Muslim yang tingal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan. Di sini, mereka memiliki masjid besar kebanggaan. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk adzan. Ornamen lain adalah tulisan-tulisan di dalam masjid ini ditulis dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris. Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada lagi kehadiran kelompok Muslim lainnya di Laos yaitu komunitas Tamil dari selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di Malaysia dan Phuket. Mereka masuk Vientiane melalui Saigon yang masjidnya memiliki kemiripan dengan masjid mereka di Tamil.
Keadaan Laos pada masa kejayaan kerajaan di Asia
Semetara Kerajaan yang didirikan oleh keberanian pasukan Bayinnaung berada dalam perpecahan dan putranya Nanda Bayin secara dalam terlibat dalam perang dengan Naresuen dari Ayut’ia, Kerajaan Laos, jauh di hulu sungai Mekong, telah mendapatkan kembali kemerdekaannya di bawah Nokeo Koumane. Ia diprokamirkan sebagai raja di Vientiane tahun 1591, dalam tahun berikut pasukannya mengalahkan perlawanan Luang Prabang dan menyatukan kembali keajaan itu. Juga Negara Tran Ninh, dengan ibu kotanya Chieng Kouang dekat Plain des Jars, mengakui kebangkitan kembali kekuatan kerajaan Laos dengan mengirim simbul tradisional ke istananya sebagai tanda kesetiaannya. Kebetulan, letaknya terapit di antara dua negara yang lebih berkuasa dari padanya, Laos dan Annam, upeti dibayar untuk keduanya. Mungkin penting bahwa pengakuan kedaulatannya dari Vientiane disetujui setiap 3 tahun, Annam menerimanya setiap tahun.  Nakeo Koumane memerintah hanya 5 tahun. Penggantinya adalah pernah sepupunya karena perkawinannya, Vongsa, yang memakai gelar Tammikarat dan memerintah sampai tahun 1622. Pemerintahannya tidak berakhir dengan menyenangkan. Puteranya, Oupagnouvarat menjadi sangat populer dan mulai mendapatkan banyak kekuasaan atas pemerintahan hingga ayahnya yang iri hati itu mendorongnya ke dalam pemberontakan. Angkatan Perang membantu Pangeran muda itu dan dapat mengalahkan ayahnya dan membunuhnya. Setahun kemudian beliau sendiri lenyap dan negeri jatuh ke dalam serangkaian peperangan dinasti yang berlangsung sampai tahun 1637. Selama kurun waktu ini 5 orang memerintah, tetapi sejarah dinasti itu demikian kaburnya hingga sedikit saja diketahui tentang mereka.
Persaingan perebutan tahta itu memuncak dalam tahun 1637, ketika Soulinga-Vongsa, salah seorang daripada penuntut dalam perang itu, mengalahkan saingannya dan merebut kekuasaan. Beliau membuktikan dirinya sebagai orang kuat yang diperlukan negeri yang terpecah-pecah itu. Selama pemerintahannya yang 55 tahun lamanya itu, bukan saja keamanan dalam negeri telah dipulihkan tetapi juga hubungan baik telah ditananamkan dengan semua Negara-negara tetangganya. Pemerintahannya yang kuat dan memberikan kerajaannya kehormatan karena kekuatannya cukup untuk melemahkan setiap yang akan menjadi agressor menanggung resiko bila menyerangnya. Dengan demikian beliau mampu merundingkan serangkaian pesetujuan dengan tetangganya mengenai penetapan pasti batas kerajaannya. Sebuah catatan yang jelas tentang suatu kunjungan ke Vientiane selama pemerintahannya telah sampai pada kita dari pena seorang Belanda, van Vuysthof yang pergi ke sana tahun 1641 dari kantor dagang Belanda di Phnom Penh dengan dua orang pembantu. Gubernur Jenderal van Diemen di Batavia sangat ingin menguras sumber-sumber “negeri gulmac dan kemenyang” itu. Kesulitan dan bahaya perjalanan ke Mekong terjadi dari tanggal 20 Juli sampai 3 Nopember. Saudagar-saudagar diterima baik oleh raja di Pagoda That Luong dan diadakan pertunjukan tari-tarian yang ramai, pertarungan memakai tombak sambil menunggang kuda dan balapan perahu untuk menggebirakan mereka. Pengiriman sejumlah besa “gulmac” dan kemenyang telah dijanjikan. Van Vuysthof terkesan, berangkat tanggal 24 Desember, meninggalkan kedua pembantunya untuk kemudian menyusul dengan seorang utusan Laos dan hadiah-hadiah untuk van Diemen ( D.G.E Hall).
Melihat singkatnya waktu berada di situ sulit untuk mengetahui berapa besar nilainya dikaitkan dengan pernyataannya tentang masalah Laos itu, khususnya karena catatannya tentang kenaikan Soulinga Yongsa penuh dengan variasi keterangan yang diberikan dalam catatan pribumi. Mengenai pemerintahan negeri itu, ia menyebut tiga orang menteri besar yang memegang kekuasaan tertinggi dengan raja. Pertama kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Komandan Ibu Kota Vientiene. Van Vuysthof menyebutnya “Tevinia-Assean”, yang rupanya menunjukkan Tian T’ala, puteri tiri raja, yang menjadi perdana menteri. Yang kedua Gubernur dari Nakhone, yang menjadi wakil raja di bagian selatan kerajaan yang meluas sampai keperbatasan Kamboja. Yang ketiga, menteri Istana, yang mengurusi utusan-utusan asing. Ada juga Mahkamah Tinggi, yang terdiri dari 5 orang anggota keluarga kerajaan, yang mengurusi masalah-masalah civil dan kriminil.
Van Vuysthof adalah orang Eropa pertama yang telah mengunjungi Vientiene. Pengetahuannya tentang geography kerajaan itu tidak cermat dan tidak mengetahui tentang Buddha secara mendalam, tetapi laporan hariannya itu rupanya melukiskan gambaran yang dapat dipercaya mengenai kemakmuran kerajaan itu seperti juga jumlah dan indahnya pagoda-pagoda dan bangunan –bangunan keagamaan lainnya. Seperti bangunan lorong Buddha yang menarik peziarah-peziarah dari jauh dan luas.  Seorang Eropa lain, Piedmontese Jesuit Father Giovanni-Maria Leria, tiba di Vientiene sesudah tahun kunjungan van Vuysthof. Ia mencoba, tetapi tanpa hasil, minta ijin membuka misi Kristen di negeri itu. Pendeta-pendeta Buddha menentang keras ketika ia merencanakan tinggal di situ selama 5 tahun. Memorinya dipakai oleh Jesuit lain, Father Merini, sebagai dasar bagi bukunya, Relation nouvelle et curieuse des royaume de Tonquin et de Laos, yang diterbitkan di Paris tahun 1666. Tak ada sesuatu yang terjadi dari selingan yang tiba-tiba ini oleh orang Eropa ke dalam daerah yang tak dikenal di hulu Mekong itu. Sungai itu sendiri, dengan riam-riamnya, bagian-bagian yang sempit di mana-mana, merupakan halangan yang cukup untuk menegakkan perdagangan orang Eropa, dan Buddhisme bagi pemasukan misi Kristen. Jelasnya sebelum sampai tahun 1861, seorang pedagang penyelidik Henri Mouhot, telah menginjakkan kaki di kerajaan yang terpencil itu, dan ia pergi ke Luang Prabang dengan gerobag yang ditarik oleh sapi jantan yang telah dikebiri.
Hanya satu peperangan yang mengganggu kedamaian yang dalam yang dipelihara oleh tangan kuat Soulinga-Vongsa. Tahun 1651 Raja dari Tran Ninh menolak permintaannya untuk menyerahkan puterinya Nang Ken Chan, untuk dikawini. Setelah permintaan diajukan bekali-kali dengan hasil yang sama Soulinga-Vongsa mengirim satu detasmen pasukan, tetapi dapat dipukul mundur. Kemudian sebuah expedisi yang lebih kuat dikirim yang merebut ibu kota. Chieng Khouang, dan memaksa raja menyerah. Peristiwa yang tak menyenangkan ini menyebabkan pertentangan yang lama dan mencelakakan antara kedua Negara itu yang berlangsung sampai abad XIX. Lepas daripada ini pemerintahan raja-raja Laos terbesar terutama dibedakan oleh hasil penting yang dicapai kebudayaan tradisional negeri itu. Musik, arsitektur, patung, lukisan, kerajinan emas dan perak, kerajianan menganyam keranjang dan pertenunan, semuanya berkembang. Bahkan, seorang raja seperti Soulinga-Vongsa, tak dapat menjamin kelanjutan stabilitas itu setelah mengkatnya. Satu-satunya puteranya, putera mahkota, menodai isteri Kepala Persatuan Pelayan Istana, Tindakan kriminil itu dihukum dengan hukuman mati. Ketika Mahkamah Kerajaan menjatuhkan hukuman mati pada pemuda itu, ayahnya menolak mencampuri jalannya persidangan. Hasilnya adalah bahwa ketika raja mangkat tahun 1694, pewaris langsungnya, cucu-cucunya Raja Kitsarat dan Int’asom, terlalu muda untuk memerintah, dan perdana menteri yang sudah tua, Tian T’ala merebut tahta. Enam tahun kemudian, tahun 1700, ia diturunkan dan di bunuh oleh Nan-T’arat, Gubernur Nakhone yang menggantinya jadi raja.
Berita tentang perebutan ini sampai pada telinga seorang pangeran dari keluarga raja yang menghabiskan seluruh waktu hidupnya dalam pembuangan di Hue, dan sejak tahun 1696 telah mengadakan agitasi untuk mendapatkan bantuan Vietnam bagi suatu serangan pada kerajaan Laos. Ia adalah, Sai-Ong-Hue, putera saudara sulung Soulinga-Vongsa, Som-P’ou, yang telah dikalahkan dalam peperangan perebutan tahta tahun 1637. Dalam tahun 1700 dan suatu pasukan Vietnam, dan mendapat bantuan kuat dari para pengikut yang dikumpulkan di Tran-Ninh, ia menyerbu Vientiane, merebut ibu kota itu, membunuh orang-orang tak berhak atas tahta, Nan-P’arat, dan menyatakan dirinya sebagai raja.
Ketika Tian-T’ala diturunkan dari tahta tahun 1700 kedua cucu Soulinga-Vongsa, Raja Kistarat dan Int’a Som, melarikan diri ke Luang Prabang. Sai-Ong-Hue, ketika mendapatkan tahta dari Nan-Ta’arat, mengirim saudara tirinya T’ao-Nong, untuk merebut Luang Prabang atas namanya. Kedua pangeran itu, karena tak mampu melawan, melarikan dirinya ke Sip-Song-Panas, dimana sepupunya Khoumane-Noi, yang memerintah di sana, melindunginya. Tahun 1707 dengan pasukan yang terdiri dari 6.000 orang, yang digerakkan oleh Khoumane Noi, mereka mengusir Tao-Nong dari Luang Prabang. Raja Kitsarat kemudian diproklamirkan sebagai raja dan mengirim ultimatum kepada Sai-Ong-Hue, bahwa waktu mendatang propinsi-propinsi Utara Chieng-Khane akan merupakan kerajaan merdeka yang terpisah. Dan Sai-Ong-Hue, yang sibuk memperbaiki tugas pemerintahannya atas propinsi-propinsi di Selatan, tidak lama posisi mempersengketakan ultimatum itu. (D.GE Hall).
Kerajaan Soulinga-Vongsa yang dulu kuat sudah tidak ada lagi. Dari tahun 1707 Luang Prabang dan Vientiene adalah ibu kota dari dua Negara yang terpisah dan saling bermusuhan. Masing-masing secara pasti diperlemah oleh kenyataan bahwa yang lain terus-menerus mencari kesempatan untuk memulihkan pesatuan yang dulu, dan dengan tujuan ini mencari perhatian pada tetangga-tetangga seperti Burma, Siam atau Annam, semuanya pada suatu saat atau yang lain selama abad berikutnya atau telah menjalankan politik ekspansi sedemikian rupa.
Vientiane di bawah Sai-Ong-Hue (1707-1735) dalam kesulitan dai semula. Tran-Ninh menolak menyatakan bahkti. Karena itu sebuah pasukan dikirim untuk menduduki Chieng-Khoung. Raja melarikan diri dan adiknya diangkat keatas singgasana. Tetapi segera setelah pasukan Vientiane ditarik, raja yang diturunkan itu mendapatkan kembali mahkotanya. Beliau memutuskan kemudian untuk melaksanakan tindakan politik dan secara resmi menyatakan tunduk kepada Sai-Ong-Hue. Dengan Bassak dan propinsi-propinsi yang jauh di selatan, Sai-Ong-Hue, kurang berhasil. Chao-Soi-Sisamout, yang memerintah disana dari tahun 1713 sampai 1747, berhubungan dekat dengan Siam dan Kamboja, dan Sai-Ong-Hue, dengan perhatiannya yang terpusat pada kerusuhan dinasti di Luang Prabang, membiarkannya dalam keadaan bebas yang menguntungkan.
Tahun 1735 Sai-Ong-Hue, secara damai digantikan oleh puteranya Ong-Long. Pemerintahannya yang 25 tahun itu memperlihatkan kekacauan besar di Burma, Siam dan Luang Prabang, tetapi beliau menjalankan politik “safety firs” dengan sukses. Ketika Alaungpaya, si penakluk Burma itu, setelah menghancurkan keajaan Mon merdeka itu di Pegu, menyerbu ke timur dalam usaha menghidupkan kembali politik Bayinnaung, Ong-Long menyelamatkan kerajaannya dari serangan itu dengan membantu expedisi Burma itu yang menyebabkan Luang Prabang Bertekuk lutut padanya. Tetapi beliau rebut dengan Tran-Ninh. Ini adalah ceritera lama tentang penolakan membayar upeti yang diikuti dengan serangan oleh pasukan Vientiane. Tetapi kali ini, Annam campur tangan agar yang bersengketa berdamai. Karena itu Ong-Long menarik pasukannya, mengundang Raja Chom-P’ou dan Tran-Ninh untuk berunding. Karena curiga masuk perangkap Chom-P’ou menunggu tiga tahun sebelum menemui atasannya. Ketika akhirnya beliau pergi, beliau diculik dan dipenjarakan di Vientiane. Tahun 1760 Annam campur tangan lagi, Ong-Long diperintahkan melepaskan tawananya itu, dan dilepaskan. Selama sisa waktu pemerintahannya Chom-P’ou membayar upetinya secara teratur dan datang secara pribadi setiap tahun ketiga untuk menyatan bhakti.
Ong-Long mangkat persis sebelum serangan Burma untuk menduduki Ayut’ia karena Alaungpaya lukanya parah. Puteranya Ong Boun meneruskan politik ayahnya membantu Burma. Mula-mula semuanya berjalan baik. Raja Hsinbyushin menghancurkan usaha Luang Prabang memberontak dan tahun 1767 menghancurkan Ayut’ia. Tetapi kerajaanya sendiri diserang oleh Cina, dan beliau kehilangan kekuasaanya bukan saja atas Siam tetapi juga atas Chiengmai dan Luang prabang. Sekarang Vientiane dalam bahaya yang luar biasa hebatnya. Tahun 1771 diserang oleh Luang Prabang. Untungnya Hsinbyushin saat ini telah mendorong ke luar penyerang-penyerang Cina itu dengan Perdamaian Kaungton (1770) dan dapat mengirimkan sebuah pasukan kuat yang mengalahkan Luang Prabang.  Tetapi gerakan P’ya Taksin untuk memulihkan kekuasaan Siam dan mengusir Burma dari Laos berhasil dengan sukses yang makin bertambah, meskipun usaha-usaha Hsinbyushin memulihkan negeri yang hilang selama peperangannya dengan Cian. Karena itu ketika tahun 1774 Int’a Som dari Luang Prabang bersekutu dengan P’ya Taksin, jalan satu-satunya untuk keselamatan Vientiane adalah meninggalkan persekutuannya dengan Burma dan membuat perjanjian dengan Siam. Tetapi Ong-Boun secara bodoh memilih alternatif yang menyimpang, dan sebagai akibatnya kehilangan segalanya. Tahun 1778 Siam mendapatkan alasan yang meyakinkan untuk menyerang Vientiane. Setelah beberapa bulan mengepungnya Jenderal Chulalok merebut ibu kota itu terus memusatkan negeri itu di bawah penduduk militer. Ong Boun lolos dan masuk ke dalam pembangunan.
 Tahun 1707, ketika T’ao-Nong, saudara tiri Sai-Ong-Hue, di usir dari Luang Prabang oleh Raja Kitsarat dan Int’a-Som, beliau membawa ke Vientiane patung Prabang yang terkenal itu, “Bhudda Zamrud” yang dibuat dai batu jasper hijau, kemudian kota itu dinamakan seperti nama itu. Sekarang tahun 1778 Jenderal Chulalok membawanya ke ibu kota Siam. Berhubung dengan itu, ketika istana kerajaan lama di bangun di Bangkok, candinya yang sekarang di bangun untuknya dala tempat pemujaan istana. Itu bukan satu-satunya barang rampasan yang diambil dari perampokan kota itu. Menurut Wood, pada kesempatan ini Siam menandingi Burma yang “ketakutan”. Tahun 1782, ketika P’ya Taksin lenyap dari percaturan, Jenderal Chakri merebut tahta Siam, Ong-Boun yang terbuang itu membuat penyerahan resmi. Kemudian diijinkan kembali ke Vientiane, dan anak sulungnya Chao-Nan telah ditunjuk oleh pemerintah kerajaan sebagai vassal Siam. Tahun 1791 keributan dinasti di Luang Prabang memaksa anak muda itu mencampurinya. Ia berhasil mendapatkan sukses gemilang merebut ibu kota dengan serangan mendadak dan mengejutkan, dan menganeksir daerah kantong Houa-P’an. Tetapi atasannya, Rama I, sangat tak menyetujui tindakannya. Karena itu, waktu pulangnya ia diturunkan dan diganti oleh adiknya Chao-In (1792-1805). Chao-In sepanjang pemerintahannya tetap seorang vassal kerajaan. Ia membantu Siam mengusir Burma dari Chiengsen. Saudaranya Oupahat Chao-Anou menyamar dalam peperangan dan mendapat ucapan selamat dari Istana Bangkok. Karena itu ketika Chao-In mangkat tahun 1805, Oupahat Chao-Anou segera diakui sebagai raja Siam.  Chao-Anou adalah orang yang mempunyai kemampuan kuat, tetapi ambisinya yang keliru menyebabkan negerinya paling buruk kehancurannya dalam sejarahnya. Kekuatan militernya yang dipertontonkan di Chiengsen membuat ia disenangi oleh Siam, tetapi tujuannya yang besar membebaskan negerinya dari ketundukan pada Bangkok. Selama beberapa tahun ia dengan cerdik menutupinya sementara ia memperkuat posisinya dan memperindah Ibu Kotanya. Tahun 1819 ia memadamkan pemberontakan Khas di daerah Bassac dan menjadikan anaknya Gubernur di daerah itu, yaitu Chao-Ngo. Ia kemudian mendorong Chao-Ngo untuk memperkuat Ubon, merupakan suatu cara yang dimaksudkan untuk pertahanan Siam. Ia mengirim bukti tanda setia kepada Kaisar Gia Long di Annam, dan tahun 1820 menawarkan pada Luang Prabang persekutuan rahasia dengan menentang Siam. Pada candinya yang baru dan indah, Sisaket, yang di bangun tahun 1824, dua kali setahun diadakan rapat besar dari semua bawahannya untuk menyatakan bhaktinya.
Tahun 1825 ia pergi ke Bangkok untuk menghadiri upacara pemakaman Rama II. Di sana ia minta secara resmi pemulangan kembali keluarga-keluarga Laos yang dipindah ke Siam selama peperangan dari abad sebelumnya. Penolakan suatu permintaan yang demikian tak masuk akal itu mendapatkan satu-satunya alasan yang berguna untuk langkah yang sangat berbahaya dalam menyatakan kesetiaannya pada atasannya. Tahun berikutnya Kapten Henry Burney datang ke Bangkok untuk merundingkan satu perjanjian. Sementara itu di sana desas-desus tak berdasar sampai di Vientiane bahwa perundingan gagal dan armada Inggris sedang mengancam Bangkok. Segera Anou memutuskan bahwa sekarang waktunya untuk memaksakan kemerdekaannya dari Siam dengan ujung pedang. Serangannya yang tiba-tiba sama sekali membuat Siam tidak siap. Tiga pasukan bersamaan waktunya menuju Bangkok satu di bawah Chao-Ngo dari Ubon, yang kedua di bawah Oupahat T’issa dari Roi-Et, dan yang ketiga di bawah Anou sendiri dari Vientiane. Anou maju sampai sejauh Korat dengan alat sederhana menyatakan bahwa ia datang membantu Raja Siam melawan serangan Britania. Pasukannya bahkan mengancam Saraburi, hanya dalam 3 hari berjalan dari ibu kota.
Tetapi perlawanan Siam segera mulai menjadi tangguh dan loncatan monyetnya berakhir. Pasukannya diusir kembali ke Korat dan Siam menggunakan ruang bernafas yang telah dicapai untuk menggerakkan pasukan besar, yang ditempatkan di bawah komando Jenderal P’ya Bodin. Ketika pasukan ini maju ke Korat, tak menjumpai perlawanan: Anou telah mundur ke Utara. Keputusannya rupanya diambil sebagai akibat kejutan dan kekalahan salah sebuah detasmennya yang betugas merampok oleh pasukan Siam kecil di dataran rendah Samrit.  P’ya Bodin, dengar insiatif melakukan serangan yang sistematis yang meliputi pertama serbuan pada Ubon dan menangkap Chao-Ngo, dan akhirnya tahun 1827 perang yang menentukan di Nong-Boua Lamp’on, di mana, setelah peperangan yang tanpa harapan yang berlangsung 7 hari, pasukan Siam terpaksa menyeberang Mekong. Inilah merupakan akhir peperangan itu. Anou melarikan diri ke dalam hutan lebat, mengirim pemintaan yang sia-sia akan bantuan ke Chiengmai, Luang Prabang dan Chieng Khouang. Siam melakukan kehancuran hebat sekali di Vientiane. Mereka kemudian meneruskan secara bertahap menghancurkan seluruh kerajaan itu, menggiring rakyatnya untuk menghuni kembali daerah-daerah negeri mereka sendiri sama seperti yang dilakukan oleh Burma dalam kurun waktu sebelumnya. Itulah akhir kerajaan Vientiane. Tahun 1828 Anou, diburu menyebrang Mata Rantai Annam oleh Siam, muncul di Hue, dan Kaisar Minh-Mang berjanji membantunya mendapatkan kembali kerajaannya. Tetapi hampir semua pasukan yang dibentuk dalam perjalanan pulangnya melarikan diri di jalan. Dan segera setelah ia tiba di ibu kotanya yang telah runtuh, datangnya pasukan Siam menyebabkannya sekali lagi menghindar untuk berkelahi, kali ini masuk ke daerah Tran-Ninh. Raja Chao-Noi harus memilih antara menyalahkan Siam atau Annam karenanya, dan karena pasukan Siam sebenarnya mengancam negerinya, dan ia sendiri mewarisi kebencian tradisional keluarganya terhadap raja-raja Vientiane, ia menangkap pelarian itu dan menyerahkannya pada Siam.  Anou mati di Bangkok setelah 4 tahun tertangkap. Pallegoix mengatakan bahwa ia dipertontonkan dalam kerangkeng besi dan kemudian mati karena pelakuan yang diterimanya. Tetapi ada ceritera yang bertentangan, dan masalah itu tetap merupakan misteri yang tak terpecahkan. Karena Chao-Noi dari Chieng-Khouang itu dendam, Annam cepat runtuh dan tanpa belas kasihan. Dipanggil ke Hue untuk menjelaskan tindakannya, ia berusaha meredakan kemarahan Minh-Mang dengan mengirim utusan dengan hadiah-hadiah mewah. Tetapi ada landasannya. Pasukan Vietnam menangkapnya dan membawahnya ke Hue, di mana ia dibunuh di muka umum. Kerajaannya, Tran-Ninh menjadi daerah bagian kerajaan Annam.
Sejarah kerajaan Luang Prabang dari tahun 1707 seterusnya dapat diceriterakan secara singkat. Tahun-tahun pertamanya diributkan oleh perselisihan dinasti, melalui usaha Int’a-Som untuk mengusir pertama dari singgasananya saudaranya Raja Kitsarat (1707-1726) dan kemudian sepupunya Khamone-Noi (1726-1727). Khamone-Noi, pribadi yang menarik, yang petualangannya penuh tada tanya, masih merupakan pokok banyak pemutaran sejarah, mempunyai nafsu untuk berburu. Dalam salah satu ketidak hadirannya pada expedisi perburuan Int’a-Som, yang ia secara hati-hati dibiarkan hidup bebas di ibu kota, meskipun suatu usaha dijalankan untuk merebut tahta, mengobarkan pemberontakan istana dan menjadikan dirinya raja. Khamone-Noi, setelah mengetahui apa yang tejadi, pergi menyelamatkan diri ke Chiengma, yang 10 tahun sebelumnya telah memberontak melawan Burma. Di sana ia dapat menguasai kerajaan itu, mengalahkan pasukan Burma yang dikirim untuk melawannya tahun 1728, dan dinobatkan sebagai raja. Int’-Som pemerintahannya panjang yang berlangsung sampai tahun1776. Secara intern pemeintahannya tenang sekali. Tetapi keluar ia behadapan dengan bahaya yang serius. Keterpencilannya menyebabkan ia memasuki hubungan diplomatic dengan Cina. Babad pemerintahanya banyak kaitan pentingnya dengan dua duta yang ia kirim ke Peking tahun 1729 dan 1734. Tahun 1750 Annam menuntut upeti, dan di situ masalahnya selesai. Kerusuhan dinasti Le telah kehilangan semua kekuasaannya atas masalah-masalah Negara, menjadi perhitungan bagi pemeran kelemahannya ini.
Tetapi bahaya terbesar datang dari hidupnya kembali kekuasaan Burma di bawah Alaungpaya (1752-1760) dan pengganti-penggantinya. Luang Prabang sebagaimana telah kita ketahui telah berhenti untuk bertunduk pada tahun 1753 dan harus menghias banyak sekali rasa bhakti, termasuk putera Int’a-Som, Tiao Vong. Ketika Alaungpaya mangkat, Int’a-Som tak henti-hentinya mencoba mendapatkan kembali kemerdekaannya. Tetapi serangan-serangan Cina pada Burma dan kemenangan-kemenangan P’ya Taksin di Siam membuat situasi lebih menguntungkan dan ia bukan saja mengumumkan lepasnya dari keunggulan Burma tetapi tahun 1771 memberanikan diri menyerang Vientiane, sekutu Burma. Pasukan Burma mengalahkannya di medan Muong-Kassy dan menyelamatkan kota tempat perang itu berlangsung tetapi pulang kembali tanpa berbuat sesuatu untuk memulihkan kedaulatan Burma atas Luang Prabang Karena itu Int’a-Som didorong meletakkan nasibnya pada P’ya Taksin, dan tahun 1774 masuk dalam pesekutuan pertahanan dengannya melawan Burma. Ia tanpa menunggu mengambil langkah telalu jauh, karena ketika tahun 1778 Siam merebut Vientiane dan menyapu kemerdekaannya mereka minta anaknya Sotika-Koumane (1776-1781) untuk menerima syarat-syarat seperti menyerahkan Luang Prabang dan juga suatu posisi ketergantungan.  Tahun 1781 adik Sotika-Koumane, Tiao-Vong, memaksanya melepaskan diri menurut caranya sendiri. Enam tahun kemudian raja baru itu mangkat terlalu cepat tanpa sebab dan selama 4 tahun negeri ditarik oleh serangkaian pertikaian antara saudara-saudaranya yang ada. Ini, seperti telah kita lihat di atas, menyebabkan Chao-Nan dari Vientiane campur tangan. Salah seorang dari saudara yang bertengkar itu, Anou-rout, anak kedua Int’a-Som, menyusun perlawanan terhadap penyerbu, tetapi gagal menyelamatkan ibu kota. Waktu jatuhnya ia melarikan diri ke Bangkok, di mana selama dua tahun (1791-1793) ia hidup sebagai tawanan Negara.
Sementara itu Raja Chao-Nan, setelah menjalankan pembunuhan besar-besaran di Luang Prabang, mamindahkan banyak kepala keluarga rakyat dan kembali pulang. Ia akan mendorong penaklukkannya lebih lanjut, tetapi takut akan serangan kemarahan besar dari rajanya yang berdaulat. Tetapi dengan menyerang semua itu, ia telah berjalan terlalu jauh, dan akibatnya diturunkan dan diperintahkan tinggal di Bangkok. Segera setelah kedatangannya di sana Anourout yang terhukum itu dibebaskan atas pemintaan kekaisaran Cina dan kembali memerintah Luang Prabang. Di sana ia sibuk memperbaiki kehancuran kota dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang diberkahi Buddha. Tahun 1817 dan ia melepaskan menurut caranya dari anaknya, Mant’a-T’ourat.  Raja baru ini yang tidak muda lagi itu, telah dilahirkan tahun 1775, telah puas mengikuti jejak kaki ayahnya dan memerintah dengan tenang. Ia jauh berhati-hati sekali untuk masuk ke dalam persekutuan anti-Siam yang diusulkan oleh Anou dari Vientiane. Tetapi kemenangan Siam atas Anou dan jatuhnya Vientiane menyebabkan ia mencoba beberapa usaha mengarahkan kembali politiknya. Sejak itu tahun 1831 dan lagi tahun 1833 ia mengirim utusan-utusan ke Hue menawarkan bhakti dan upeti tradisional berupa bunga-bunga emas dan perak yang kakeknya secara kasar menolaknya tahun 1750. Tetapi ini tidak ada tujuannya. Pukulan Siam telah diletakkan di pundaknya, dan Minh-Mang dari Hue dengan hati-hati melubangi surat yang dibawa oleh utusannya. Tetapi tahun-tahun berikut mereka senang pada Perancis ketika mereka mencari alasan untuk meluaskan kekuasaan dari Annam ke negeri Laos menyeberang Mekong. Ketika Mant’a-T’ourat mangkat tahun 1836 seorang menteri Siam menghadiri pembakaran mayatnya dan secara umum menyatakan hak kedaulatan Siam. Anaknya dan penggantinya yang ditunjuk, kemudian tinggal di Bangkok sebagai jaminan. Ia dengan sabar menunggu selama 3 tahun sebelum menerima pengakuan resmi dari Raja Siam dan ijin kembali ke negerinya.
Zaman Pengaruh Imperialisme Barat di Laos
Prancis merupakan Bangsa Barat yang berhasil menanamkan kekuasaannya di Indo-China. Vietnam adalah Negara di kawasan Indo-China yang paling keras melawan imperialisme  Prancis, terutama pada pemerintahan Tu-Duc, jadi pada tahap awal penjajahannya di kawasan Indo-China difokuskan untuk menguasai Vietnam terlebih dahulu. Perancis mengirimkan sebuah ekspedisi awal ke Laos untuk menyelidiki rute perdagangan sungai Mekong ke Cina. Ekspedisi tersebut terdiri dari 10 orang Perancis dan sejumlah Pribumi sebagai juru bahasa. Ekspedisi tersebut dimulai dari Saigon tanggal 5 Juni 1863. Setelah meninggalkan Angkor ekspedisi itu perlahan-lahan terus menghulu ke reruntuhan kota Vientiane, yang diketemukan telah ditumbuhi tumbuh-tumbuhan liar. Kemudian terus ke Luang Prabang dan desa di dekatnya.
Pada tahun 1886, Perancis mendapat izin dari Laos untuk memperluas pemerintahannya di Laos dengan menempatkan wakil konsulat di Luang Prabang. Dalam perang Vietnam-Prancis yang berlangsung pada 1883, pihak Vietnam mengalami kekalahan dan disepakati perjanjian Hue 1883 yang menetapkan bahwa Vietnam harus mengakui naungan Prancis atas Vietnam. Sejak itulah Prancis betul-betul berkuasa atas seluruh Vietnam dan melanjutkan perluasan imperiumnya ke wilayah Laos dan Kamboja. Di tahun 1887, Laos, mengantisipasi ekspansi bangsa Perancis dengan mengosongkan sebagian besar daerah Laos. Laos dapat dikuasai tanpa kendala berarti sejak 20 Januari 1893. Tahun berikutnya Kamboja dapat dikuasai. Jadi pada tahun 1894 Prancis telah mampu menguasai kawasan Indo-China dan menyatakan daerah tersebut adalah daerah protektorat Prancis.
Politik Kolonial Prancis di Laos
Politik kolonial Prancis di Laos termasuk dalam politik Prancis yang diterapkan di kawasan Indo-China. Politik kolonial Prancis secara garis besar dikonsentrasikan pada bidang politik, ekonomi dan social budaya. Dalam bidang politik, pemerintahan kolonial Prancis melakukan pengendalian kekuatan gerakan perlawanan lokal dengan politik pecah belah. Langkah utama yang dilakukan adalah pembagian territorial Indo-China. Hal ini terbukti, bahwa setelah Prancis berhasil menguasai seluruh kawasan Indo-China serta dapat melumpuhkan perlawanan dan kerusuhan-kerusuhan di daerah Tongking, Chochin-China dan daerah lain, pada. Hal ini terbukti, bahwa setelah Prancis berhasil menguasai seluruh kawasan Indo-China serta dapat melumpuhkan perlawanan dan kerusuhan-kerusuhan di daerah Tongking, Chochin- China dan daerah lain, pada Oktober 1887 Prancis menentukan politik pemerintahan kolonial atas Indo-China. Wilayah Annam, Tongking, Laos dan Kamboja sebagai daerah protektorat kolonial Prancis langsung di bawah kekuasaan Menteri Luar Negeri.
Sejak tahun 1989 Kamboja, Chonchin-China, Annam dan Tongking dijadikan sebuah Union Indo-China. Pemerintahan yang lebih tinggi dipercayakan kepada seorang gubernur Jendral Sipil yang membawahi lima departemen. Bidang Ekonomi Prancis melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam dan penduduk Indo-China. Tetapi Perancis tidak banyak tertarik dengan wilayah Laos. Paris mengirimkan pejabat-pejabat resmi Vietnam ke Laos untuk mengatur pemerintahan, tetapi peranannya hanya sedikit dalam mengembangkan perekonomian Laos. Dalam Bidang sosial budaya, Prancis menerapkan politik asimilasi yaitu memasukkan budaya Prancis ke Indo-China atau dengan kata lain mem-Prancis-kan Indo-China. Namun demikian politik Prancis ini gagal karena Prancis ragu-ragu dalam memperluas pendidikan karena takut timbul nasionalisme dari kaum terpelajar.
Kemerdekaan Negara Laos
Pada bulan September 1940, setelah Perancis diserang oleh Jerman, pasukan Jepang menduduki Indo-Cina dengan tanpa perlawanan. Secara resmi kekuatan kolonial Perancis meninggalkan seluruh instalasi militernya untuk digunakan pasukan Jepang. Dan juga terjadi pertukaran pemerintahan kolonial Perancis secara resmi ke Jepang. Perang dunia II tidak banyak mengakibatkan kerusakan di Laos, bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar dan Filipina. Di Asia Timur, Perang dunia ke II berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945, yang ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Kemudian, Perancis mencoba mendirikan kembali kekuatan kolonialnya di Kamboja, Vietnam dan Laos. Pada tanggal 1 September 1945, negara Laos menyatakan kemerdekaannya. Perancis menolak untuk menerima hal tersebut, dan membalas dengan mengirim pasukannya ke Laos. Perang gerilya berawal ketika tentara Laos melawan kekuatan kolonial Perancis.
Tiga orang pangeran yang terkenal melawan penjajah adalah Pangeran Souvanna Phoma, Pangeran Souphanavong dan Pangeran Oune Sananikone. Pangeran Souphanavong yang banyak berkenalan dengan paham sosialisme dan menjalin hubungan dengan Ho Chi Minh dikenal sebagai pemimpin kelompok komunis. Sebaliknya Pangeran Oune Sananikone yang lebih dekat dengan Muangthai dikenal sebagai pemimpin yang beraliran nasionalis. Sedangkan Souvanna Phoma kakak dari Souphanavong lebih mengambil jalan tengah. Terdesaknya Prancis dikawasan Indo-Cina sebagai akibat dari perlawanan yang sangat gigih dari kelompok komunis dikawasan Indo-China yang bersatu untuk mengusir imperialsme memaksa Negara-negara sekutu seperti Amerika, Prancis, Inggris mengadakan konverensi Jenewa pada tanggal 25 April 1954 utuk membahas masalah Korea dan Indo-China. Selain itu China, Uni Soviet, Republik Sosialis Vietnam (Vietmin), Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Korea Utara dan Korea Selatan hadir dalam konverensi Jenewa.
 Pada 20 Juli 1954 konverensi Jenewa menghasilkan 6 bab dan 57 pasal, yang terkait dengan Indo-China antara lain berisi keputusan mengakui kemerdekaan penuh pada Kamboja, Laos, dan Vietnam. Serta diputuskan pula pembagian Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Dengan ketiga aliran yang ada di Laos ternyata sulit untuk membangun aliansi. Apalagi setelah kedatangan Amerika Serikat sesudah Perang Dunia II dalam rangka mempopulerkan doktrin John Foster Dulles yang anti komunis, perpecahan antara pemimpin Laos semakin menajam setelah Souphanavong dengan partai Pathet Lao yang beraliran komunis melancarkan serangan dan pengaruh di Laos dengan bantuan tentara Viet Minh. Sedangkan golongan kanan yang nasionalis di bawah pimpinan Sananikone menjadi lebih kaya karena bantuan Amerika Serikat. Meski kelompok nasionalis ini kurang popular dalam kepemimpinannya di Laos, nampaknya Laos lebih cenderung mengambil jalan tengah, walaupun kepopuleran golongan Pathet Lao cukup menonjol.
Sehubungan dengan itulah maka dalam perkembangannya yang berhasil dan banyak menduduki jabatan Perdana Menteri (PM) adalah Souvana Phoma. Pada waktu menduduki jabatan Perdana Menteri, Phouma terus berusaha uttuk membentuk koalisi dengan adiknya Souphanavong. Dan hal ini pernah tercapai dalam tahun 1973, setelah Souvanna Phoma bersama Vongvichit dari pihak Pathet Lao membubuhkan tanda tangan diatas kertas perjanjian damai pada hari ke 23 Februari 1973.
Konflik Internal Laos
Setelah lebih dari 3 dekade, sejak tahun 1949 sampai tahun 1975, situasi politik di Laos selalu dalam keadaan yang tidak stabil. Perang saudara diantara 3 golongan tidak separah dengan perang saudara di Vietnam atau di Kamboja.
Pada tahun 1950 Laos diberikan semi-otonomi sebagai "negara terkait" dalam Uni Prancis. Perancis tetap memegang kendali de facto sampai 22 Oktober 1953, ketika Laos meraih kemerdekaan penuh sebagai monarki konstitusional. Di bawah pengecualian khusus pada Konvensi Jenewa, misi pelatihan militer Perancis terus mendukung Royal Lao Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Departemen Pertahanan AS menciptakan Kantor Program Evaluasi khusus untuk mengganti dukungan Perancis dari Royal Lao Angkatan Darat terhadap komunis Pathet Lao sebagai bagian dari kebijakan penahanan AS. Laos diseret ke dalam Perang Vietnam. Bagian timur negara itu diikuti Vietnam Utara dan Vietnam Utara diadopsi sebagai negara persaudaraan. Laos diperbolehkan Vietnam Utara untuk menggunakan tanah sebagai rute pasokan untuk perang melawan Selatan. Sebagai tanggapan, Amerika Serikat memulai kampanye pemboman terhadap Vietnam Utara, yang didukung kekuatan antikomunis teratur dan tidak teratur di Laos dan mendukung invasi Vietnam Selatan Laos. Hasil dari tindakan ini adalah serangkaian kudeta d'état dan, akhirnya terjadi perang saudara antara pemerintahan Laos Royal dan Laos Pathet.
Dalam Perang Sipil, Korut bersenjata berat dan pertempuran mengeras Vietnam Army adalah kekuatan nyata di balik pemberontakan Lao Pathet. Pada tahun 1968, tentara Vietnam Utara meluncurkan serangan multi-divisi untuk membantu Lao Pathet untuk melawan Royal Lao Angkatan Darat. Serangan itu mengakibatkan sebagian besar demobilisasi tentara, meninggalkan konflik untuk pasukan tidak teratur dibangkitkan oleh Amerika Serikat dan Thailand. Serangan itu mengakibatkan banyak nyawa melayang.
Pemboman udara besar-besaran dilakukan oleh Amerika Serikat. The Guardian melaporkan bahwa Laos terkena rata-rata satu B-52 bombload setiap delapan menit, 24 jam sehari, antara 1964 dan 1973. Pembom AS menjatuhkan bom lebih pada Laos dalam periode ini dari yang dijatuhkan selama seluruh Perang Dunia Kedua. Dari 260 juta bom yang menghujani, terutama pada Xiangkhouang Provinsi di Plain of Jars, sekitar 80 juta gagal meledak, meninggalkan warisan yang mematikan. Laos adalah negara yang paling banyak dibom, per kapita, di dunia.
Peristiwa perjanjian damai pada 23 Februari 1973 telah menimbulkan reaksi keras terutama dari golongan kanan. Banyak perwira militer yang berimpati dengan golongan nasionalis merasa tidak puas dan menuduh bahwa Phouma telah menjual Laos kepada orang-orang komunis. Kemudian santer terdengar isu mengenai akan adanya kudeta terhadap pemerintahan Phoma. Bagi rakyat dan para diplomat di Laos sebenarnya tidak begitu tertarik atau terkejut mendengar isu tersebut, mengingat kudeta seolah-olah telah menjadi sebagian kultur dalam pergantian kepemimpinan di Laos. Desas-desus itu ternyata menjadi kenyataan setelah 4 bulan dari penandatanganan perjanjian damai tersebut, kelompok militer dibawah Jendral Thouma melakukan kudeta. Tetapi kudeta ini tidak mendapat dukungan pihak Amerika Serikat yang sebetulnya sangat diharapkan oleh golongan kanan. Amerika Serikat melalui John Dean Gunter wakil duta besar Amerika untuk Laos mengatakan bahwa pihak Amerika lebih mendukung politik koalisi yang dijalankan Phouma. Tanpa bantuan Amerika maka kudeta ini dapat segara digagalkan dan Jendral Thouma sendiri terbunuh, sedang anak buahnya melarikan diri ke Muangthai. Setelah mundurnya kekuatan Amerika Serikat dari Indo-Cina di tahun 1973, pemerintahan sayap kanan di Vientiane menggantikan pemerintahan koalisi yang netral dan komunis-komunis Pathet Lao.
 Pada tahun 1975, setelah pasukan komunis menaklukan ibukota Vietnam dan Kamboja, komunis Pathet Lao memperoleh kekuatan tunggal di Laos. Sementara di Laos, sebagian penduduk tertahan di tempat penampungan, dimana tidak terjadi balas dendam seperti di Kamboja. Perdana menteri netralis terdahulu yang bernama Souvana tidak ditahan tetapi hanya diturunkan pangkatnya menjadi penasehat pemerintah. Dengan perkembangan tersebut maka tentara Pathet Lao yang bermarkas di perbatasan sebelah Utara semakin bebas bergerak memasuki kota Vientiene dan Luang Prabang tanpa dicurigai lagi. Perkembangan ini sangat menggembirakan pihak Hanoi yang selama perjuangannya selalu membantu gerakan komunis Pathet Lao. Apalagi setelah tahun 1975 dan memasuki tahun 1976 ternyata gerakan komunis di Laos sudah begitu kuat. Dan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan kali ini membuat warna merah berhasil mengendalikan pemerintahan Laos, walaupun ide koalisi itu tetap ada. Tetapi komunis tetap komunis, prinsip komunisme untuk mengkomuniskan suatu Negara yang ditempatinya akan terus diusahakan. Sehingga lama kelamaan menggeser peranan kaum netralis.
Perlawanan Gerilyawan Nasionalis
Sejak Laos berangsur-angsur dikuasai oleh Pathet Lao, banyak orang, bekas pejabat pemerintahan lama dan orang orang yang setia pada raja, berusaha mengadakan perlawanan terhadap penguasa baru. Penguasa baru Laos di samping menghadapi golongan nasionalis juga masih menghadapi serangan-serangan dari suku Meo yang tidak mau tunduk pada penguasa Pathet Lao. Pada perkembangan selanjutnya suku Meo dan golongan kanan bergabung melawan penguasa Pathet Lao. Dari Bangkok tanggal 7 Januari 1976 diberitakan bahwa tentara dari suku Meo telah menyerang dan menewaskan enam tentara Pathet Lao di daerah pegunungan dekat Vientiane. Sementara itu seorang pemimpin suku Meo mengatakan kepada AFP di Bangkok tanggal 20 Januari 1976 bahwa :1) suku Meo sekarang menguasai kembali daerah Long Chen; 2) suku Meo mempunyai 7.000-8.000 orang tentara yang beroperasi di Laos dan diorganisir dalam kelompok-kelompok gerilya kecil-kecil; 3) seku Meo mempunyai cukup persediaan suplai senjata.
 Tanggal 8 dan 9 Maret gerilyawan Front Rakyat Laos yang anti komunis menyerang penjara Tam Khe dekat Viantiane dan menewaskan 20 orang penjaganya. Surat kabar Bangkok, Thairath tanggal 27 Maret 1976 memberikan bahwa: 1) gerilyawan anti komunis Laos telah membangun pengkalan-pangkalan di pulau-pulau penting di Sungai Mekong antara Savanrakhat dan Pakse; 2) sekitar 200 gerilyawan telah melakukan beberapa serangan terhadap pasukan penguasa Pathet Lao; 3) gerilyawan-gerilyawan tersebut mempunyai senjata- senjata yang baik dan amunisi yang cukup. Suatu pertempuran lain terjadi di selatan Vientiane tanggal 23 Maret 1976 antara pasukan Pathet Lao dan gerilyawan anti Komunis mengakibatkan empat tentara Pathet Lao tewas dan dua buah instalasi artelari di Simmano dan Khoyaideng hancur. Sedang di desa-desa sebelah timur Viantiene tanggal 21 Maret 1976 gerilyawan anti komunis menghadang iringan militer Pathet Lao dan menewaskan lima tentara Pathet Lao. Dua granat yang hendak meledak di Keduataan besar Uni Soviet tanggal 13 Maret 1976 mengakibatkan empat diplomat Uni Soviet luka-luka. Kemudian segerombolan penyerang melemparkan dua granat ke Keduataan Besar Kuba tanggal 3 April 1976. dari Bangkok tanggal 16 April 1976 diberitakan bahwa gerilyawan anti komunis Laos yang menemakan dirinya Front Patriotik Revolusioner Laos (LRPF) telah menyatakan bertanggungjawab atas serangan-serangan terhadap kedua kedutaan tersebut. Lewat selebaran-selebaran, kelompok ini menyatakan bahwa: 1) pihak Uni Soviet dengan terang-terangan telah memberdayakan rakyat Laos untuk menjadikan kerajaan Laos sebagai satelit Uni Soviet; 2) LRPF akan melancarakan serangan terhadap orang-orang Uni Soviet di Negara-negara yang menandatangani persetujuan Jenewa tahun 1954 yang menjamin netralitas Kerajaan Laos dibawah dwi ketua Uni Soviet dan Inggris.
Untuk menanggulangi serangan-serangan dari gerilyawan nasionalis pemerintah Laos secara terus-menerus berusaha membasmi gerakan-gerakan itu. Dari Bangkok tanggal 4 April diberitakan bahwa pemerintah Laos telah mengoperasikan pesawat-pesawat tempur pembom buatan AS, T-28, untuk menghancurkan perlawanan gerilyawan nasionalis di Laos Utara. Radio Laos tanggal 20 Maret mengecam perbuatan sabotase, subversi dan pengrusakan yang dilakukan golongan anti revolusioner, dan mendesak rakyat serta Angkatan Bersenjata untuk memperkuat keamanan dan memepertinggi kewaspadaan. CIA telah mengorganisir golongan tersebut dan berusaha menjadikan Muangthai sebagai pangkalan anti Laos. Seorang bekas perwira Laos yang lari ke Muangthai menyatakan di Nong Khai tanggal tanggal 6 Mei 1976 bahwa Pathet Lao sedang memperbaiki semua pesawat-pesawat tempur dan transportasi yang ditinggalkan oleh bekas Angkatan Udara Laos untuk mempersiapkan operasi militer besar-besaran guna menghadapi beberapa gerakan gerilyawan yang telah muncul di beberapa daerah di Laos. Untuk itu, ahli-ahli mesin Pathet Lao yang belajar selama tiga tahun di Uni Soviet telah kembali ke Laos.
Seorang pemimpin suku Meo menyatakan di Bangkok tanggal 22 Juli 1976 bahwa ratusan gerilyawan suku Meo telah tewas akibat pemboman Pathet Lao di daerah Long Cheng (200 km sebelah timur Vientiane), sasaran pemboman tersebut sebenarnya Muong Cha, Pha Oio, Phi Khaio dan Pha Khas, serta sebuah pesawat intai dan holikopter Pathet Lao yang dikemudikan oleh pilot-pilot Uni Soviet berhasil di tembak jatuh. Suku Meo dan rakyat Laos yang anti komunis terus melancarkan perlawanan dengan nama “Tentara Anak Surga”. Perpecahan terjadi antara golongan ekstrim yang di pimpin oleh PM Kaysone Phomvihan dan kelompok moderat yang dipimpin oleh Presiden Souphanouvong. Jumlah suku Meo yang mengungsi ke Muangthai saat itu diperkirakan 40.000 orang. Sekitar 500 tahanan politik melarikan diri dari penjara Vientiane pada tanggal 25 April 1976 setelah berhasil merebut senjata-senjata dari gudang penjara dan menewaskan 12 orang penjaganya.
Bong Souvannavong, bekas politikus terkemuka Laos dan Pangeran Sonk Banavong termasuk diantara para tahanan yang melarikan diri. Tanggal 26 April 1976 penguasa Laos menyatakan berlakunya jam malam di Vientiane utnuk mencari para tahanan yang melarikan diri. Sementara itu beberapa tahanan yang sampai di Muangthai menyatakan bahwa sekitar 100 tahanan telah terbunuh. Untuk mencegah masuknya para tahanan, Muangthai telah menutup dua pos perbatasan dan menghentikan lalu lintas ferry di Sungai Mekong. Pada tanggal 27 April 1976 di sungai Mekong terjadi pertempuran antara Pathet Lao dan para tahanan yang melarikan diri. Sampai pada tahun 1978 penguasa Muangthai telah menahan 50 tahanan yang berhasil menyeberangi sungai Mekong. Dikabarkan bahwa sekitar 150 tahanan masih bebas di Laos dan 180 orang lainnya ditangkap.
Kebijakan Dalam Negeri Pemerintahan Pathet Lao
Sidang Majelis Rakyat Tertinggi pertama berlangsung Di Vientiane tanggal 23 Desember 1975 sampai 3 Januari 1976 dan memutuskan: 10 membuat rancangan konstitusi baru, rencana kerja Majelis serta program pemerintah; 20 hari Nasional Laos tanggal 2 Desember 1976. dari Vientiane tanggal 11 April 1976 diberitakan bahwa pemerintahan Laos telah memulai suatu revolusi kebudayaan pertama. Untuk melaksanakan revolusi tersebut, diadakan indoktrinasi-indoktrinasi khusus untuk para pemuda yang menganggur, para perusuh, para pejudi, dan pecandu obat bius. Ratusan orang telah ditahan termasuk orang-orang asing yang kebanyakan berasal dari Vietnam dan China.
Radio Laos tanggal 11 Mei 1976 memberitakan bahwa pemerintahan Laos telah membebaskan kelompok pertama bekas perwira-perwira golongan kanan yang menjalani pendidikan kembali selama satu tahun. Mereka yang dibebaskan itu ditugaskan kembali dan di satukan ke dalam resimen baru. Masalah kehidupan beragama pada awal tahun 1976 agak ramai dibicarakan. Partai komunis yang berkuasa telah mengecam agama Katolik sebagai agama yang mendatangkan gaya hidup Barat yang tidak sesuai dengan situasi Laos dan sering dijadikan alat CIA. Pernyataan pemerintah baru tanggal 6 April 1976 menyatakan bahwa agama budha adalah agama baik dan telah memainkan peranan penting dalam perjuangan untuk menanamkan dan membangun Negara. Perayaan dan keramaian tahun baru Laos akan diselenggarakan pada tanggal 13-15 April setiap tahun. Wakil menteri Urusan Dalam Negeri Kolonel Deuan Soun Rhen mengatakan di Vientiane tanggal 23 April 1976 bahwa pemerintah Laos menyambut baik segala bantuan dari setiap Negara, organisasi atau individu manapun untuk membantu Negara menyembuhkan luka-luka perangnya. Pemerintahanya juga akan meneruskan kampanye utnuk memberantas korupsi. Tanggal 15 Juni 1976 pemerintah Laos memperkenalkan mata uang baru yang bernama KIP Front Pembebasan Laos dengan nilai 1.200 KIP untuk Satu US$.
Kebijakan Luar negeri pemerintahan Pathet Lao
Untuk mencari dukungan dan bantuan keuangan guna membiayai perekonomian dalam negeri, penguasa baru Laos mengusahakan bantuan-bantuan dari luar negeri, baik melalui diplomasi tak langsung maupun langsung. Suatu kunjungan resmi PM Kaysone Phomvihan ke RRC berlangsung tanggal 15-24 Maret 1976. tanggal 16 Maret pejabat PM Hua Kuo-feng mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin Laos hendaknya berhati-hati terhadap Negara-negara besar yang disatu pihak mengatakan peredaan ketegangan tetapi di lain pihak meluaskan pengaruhnya dimana-mana. Kaysone Phomvihan megatakan bila RRC berpendapat bahwa Uni Soviet merupakan Negara paling berbahaya, maka pendapat itu keliru karena musuh Laos bukan Uni Soviet tetapi imperialis Amerika Serikat. Tanggal 18 Maret PM Kaysone dan pejabat PM Hua Kuo-feng menandatangani suatu perjanjian kerjasama ekonomi dan teknik, yang menetapkan RRC untuk terus memberikan pinjaman-pinjaman bebas bunga kepada Laos.
Sebuah sumber dari Laos mengatakan bahwa RRC telah memberikan pinjaman baru untuk melanjutkan proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan termasuk jaringan jalan raya. PM Kaysone tiba di Moskwa pada tanggal 20 April 1976 untuk suatu kunjungan resmi. PM Alexei Kosygin menyatakan bahwa salah satu tujuan politik luar negeri Uni Soviet adalah menjamin keamanan di Asia atas usaha-usaha bersama dengan Negara-negara di benua tersebut. Kunjungan delegasi Laos tersebut akan mempererat hubungan dua Negara. Tanggal 21 April 1976 PM Kaysone mengadakan pembicaraan dengan PM Alexei Kosygin, Menteri Luar Negeri Andrei Greckho, Menteri Pertahanan Marsekal Andrei Gromyko, dan seorang anggota Polit Biro Partai Komunis Uni Soviet, Michail Suslov mengenai pengukuhan ikatan persahabatan kedua Negara. Di Moskwa tanggal 22 April 1976 ditandatangani tiga perjanjian yaitu: 1. Persetujuan Kerjasama Kebudayaan dan Ilmiah yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Andrei Gromyko dan Menteri Luar Negeri Phun Sipaset. 2. Perjanjian Perdagangan, Peredaran Perdagangan dan Pembayaran-pembayaran yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Luar Negeri Uni Soviet, Nikolai Patulichev dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Laos, Masuk Sarempheng. 3. Sebuah pernyataan bersama yang isinya tidak diumumkan serta ditandatangani oleh PM Kaysone dan PM Alexei. PM Kaysone Phomvihane pada tanggal 4 September 1976 berangkat menuju Uni Soviet, Kuba, Honggaria, Rumania, Polandia, Cekoslowakia dan Bulgaria untuk suatu kunjungan persahabatan dan mempererat hubungan bilateral.
 Dalam komunikasi bersama di Havana pada tanggal 17 September 1976, Laos dan Kuba menyatakan bahwa pasukan Amerika Serikat yang masih ada di Asia Tenggara agar segera ditarik dan seluruh pangkalan Amerika Serikat di wilayah itu agar segera dibongkar, pasukan asing agar ditarik dari Korea Selatan, usul bagi terciptanya wilayah damai di Samudra Hindia perlu didukung, kedua Negara menyampaikan rasa solidaritas kepada rakyat Namibia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan, serta mendukung perjuangan Mozambik untuk mengakhiri rencana-rencana dan tindakan-tindakan agresif kaum imperialis dan rasialis, satu-satunya pemecahan adil dalam penyelesaian masalah Timur Tengah adalah penarikan seluruh tentara Israel dari wilayah-wilayah yang secara tidak sah merebut wilayah Palestina pada tahun 1967 dan melindungi hak-hak fundamental rakyat Palestina. kedua Negara mendukung perjuangan Negara-negara Non-blok.
Kepala Kementerian Luar Negeri Laos, Soubanh Srithirat, menyatakan di Vientiane pada tanggal 21 April 1976 bahwa Laos membutuhkan bantuan dari semua Negara sahabat, terutama Prancis. Hubungan Laos dan Prancis akan segera diperbaiki, terutama yang menyangkut kerjasama ekonomi, kebudayaan, dan teknik. Sementara itu bantuan dari pemerintah Belanda yang berupa 32 ton obat-obatan, gula, dan mesin-mesin tiba di Vientiane pada tanggal 9 Januari 1976. Timbul berbagai problema lain yang harus dihadapi. Problema itu antara lain karena Laos tidak memiliki daerah pantai sebagai pelabuhan. Sebab jalur-lalulintas perekonomiannya melewati Muangthai. Kedua Negara ini saling berbatasan dan bersahabat sebelum Pathet Lao berkuasa di Laos. Tetapi hubungan ini semakin memburuk sejak Laos jatuh ketangan Komunis. Padahal Muangthai mengambil politik anti Komunis. Masalah lain yang dihadapi Laos adalah tidak dimilikinya tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman di berbagai bidang. Sebab semenjak Pathet Lao berkuasa banyak tenaga yang memiliki keahlian dan berpengalaman melarikan diri ke Muangtahi. Sehingga Laos kehilangan tenaga-tenaga yang potensial.
 Dalam situasi yang seperti itu, merupakan kesempatan yang sangat tepat bagi Vietnam untuk memperbesar pengaruhnya dengan jalan memberi bantuan. Pengaruh itu telah diteguhkan pada waktu PM Pham Van Dong, sekjen partai Komunis Vietnam Le Duan dan wakil menteri pertahanan Letjen Chu Huy Man, mengunjungi Vientiane. Pada tanggal 18 Juli 1979 telah ditandatangani Deklarasi Bersama yang berisi antara lain: 1). Persetujuan militer, maksudnya Laos akan dibela oleh Vietnam dalam menghadapi ancaman dari luar. Ancaman dari luar ini ditujukan pada Muangthai. Konflik perbatasan antara kedua Negara ini menjadi semakin meningkat. Di Laos sendiri telah didatangkan pasukan Vietnam dalam jumlah besar yakni sekitar 50.000 orang. 2). Persetujuan ekonomi. Hal ini dimaksudkan bahwa Laos mengekspor produksinya tidak lagi melalui Muangthai tetapi melalui pelabuhan Danang di Vietnam bagian Selatan, dan diangkut ke Danang melalui darat dengan segala peralatan yang cukup modern. Selain itu, delapan battalion tenaga pembangunan Vietnam Utara bersama sekitar 3.000 pemuda Laos sedang membangun sebuah jalan raya dari Laos Utara ke delta sungai Mekong dibawah petunjuk tenaga-tenaga teknisi Uni Soviet. Jalan raya sepanjang 330 km tersebut akan memanjang melewati lembah Tempayan sebuah daerah strategis. Semua bahan bangunan didatangkkan dari Uni Soviet. 3). Mengenai ASEAN. Kedua belah pihak baik Vietnam maupun Laos mengutuk keras usaha-usaha Amerika Serikat yang mempergunakan ASEAN untuk menentang arus ke arah kemerdekaan yang sejati, perdamaian serta kenetralan di kawasan Asia Tenggara. Vietnam dan Laos sepakat bahwa usaha-usaha yang dilakukan para penguasa Negara-negara anggota ASEAN guna memperkuat persekutuan militer bilateral dantara mereka dengan papan nama anti komunis, berarti akan mengubah ASEAN menjadi persekutuan militer secara de facto. Dengan demikian berarti akan melawan aspirasi rakyat yang menginginkan kemerdekaan sejati.
Hal ini mengandung bahaya dan akan membuat Asia Tenggara dalam situasi yang tidak stabil, demikian menurut penilaian Negara-negara sosialis Indo-China. Pernyataan melalui deklarasi bersama antara Laos dan Vietnam itu jelas ingin mempengaruhi pendapat yang berkembang dalam konferensi puncak ASEAN di Kuala Lumpur pada bulan Agustus 1979. Dalam kenyataan, secara materiil memang ada pengelompokan dua kekuatan di Asia Tenggara yakni ASEAN dan Negara-negara Indo-China yang dibentengi Vietnam. Vietnam tahu bahwa ASEAN akan membuat sejarah baru lagi di Kuala Lumpur dan akan mendapat perhatian besar dari dunia internasional. Oleh karena itu Vietnam telah membuat gerakan dan Isu-isu dengan suatu harapan agar dapar mempengaruhi pandangan internasional mengenai situasi Asia Tenggara yang tidak stabil ini dinilai akibat langkah Negara-negara ASEAN yang didukung oleh Negara-negara besar.
 Sehubungan dengan itu, maka ASEAN menilai perjanjian persahabatan dan kerjasama Vietnam-Laos pada tanggal 18 Juli 1979 itu tidak lain merupakan perjanjian militer dalam rangka melaksanakan prinsip komunisme yang ingin mengkomunismekan Negara-negara tetangga yang belum komunis. Sehingga kedudukan Muangthai dalam hal ini sangat terancam. Apalagi dengan berbagai pernyataan dengan Negara-negara lain bahwa Vietnam akan selalu mendukung setiap gerakan komunis di Asia Tenggara yang ingin memperoleh kemerdekaan sejati, perdamaian, dan kehidupan yang demokratis. Pernyataan ini memberikan kesan bahwa menurut pandangan Indo-China, Negara non- komunis di Asia Tenggara ini belum mencapai kemerdekaan yang sejati. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan aspirasi rakyat di masing-masing Negara. Vietnam menamakan Laos sebagai zone terdepan serta memendang dirinya sendiri sebagai benteng sosialisme dan perdamaian di Asia Tenggara. Hal ini sebagai suatu indikator bahwa ada semacam persiapan agresi terhadap Negara-negara tetangga. Kunjungan delegasi Vietnam ke Laos yang melahirkan persetujuan damai itu, menunjukkan semakin kuatnya pengaruh rezim Hanoi di kawasan Indo-China. Tetapi bagi rezim Hanoi yang dibimbing oleh cita-cita Ho Chi Minh, tidak puas sampai di Laos. Kamboja masih merupakan masalah yang harus di selesaikan. Sebab Kamboja dibawah kekuasaan Khmer Merah menolak pengaruh Vietnam, bahkan keduanya memiliki orientasi berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Danusapotro,Prof Mr St Munadjat.1984.ASTRA JAYA(Asia Tenggara dalam Jalan Silang Dunia). Jakarta: Binacipta
Groslie,Bernard Phillipe.2007.Indocina Persilangan Budaya.Grafik Mardi:Bogor
Hall, D.G.E. tanpa tahun. Terjemahan I.P Soewasha. Sejarah Asia tenggara. Surabaya: Usaha Nasional

Homzi ,Randy.2010. Sejarah Asia Tenggara (Sejarah Laos). /sejarah-asia-tenggara-sejarah-laos.html.htm. diunduh tanggal 28 Pebruari 1012

kbrivientiane laos.2008.perkembangan terkini laos.tersedia pada www.kbrivientiane.org. diunduh tanggal 15 Maret 2012
 Reid, Anthony.2004.Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia
Wapedia.2010.Islam di Laos.Al Kayyis Center_ Islam di Laos.htmd.htm.diunduh pada tanggal 28 Pebruari 1012.
Wikipedia.Laos. Laos wiki.htm. diunduh tanggal 28 Pebruari 1012
Wikipedia.2012.Sejarah Asia Tenggara. Sejarah_Asia_Tenggara.htm. diunduh tangal 28 Pebruari 2012



1 komentar: