SEJARAH NEGARA LAOS
Gambaran
Umum Negara Laos
Republik Demokratik Rakyat Laos adalah negara yang daerahnya terkurung oleh daratan di Asia Tenggara,
berbatasan dengan Myanmar dan Republik Rakyat Cina di sebelah Barat Laut, Vietnam di Timur, Kamboja di Selatan, dan Thailand di sebelah Barat. Laos memiliki luas wilayah sekitar
236.800 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 5.635.967 (2002). Iklim Laos adalah tropis
dan dipengaruhi oleh angin musim terletak 17°58' LU
102°36' BT. Ibukota dan kota terbesar di Laos adalah Vientiane,
kota-kota besar lain meliputi Luang Prabang,
Savannakhet, dan Pakse.
Agama yang dianut oleh bangsa Laos adalah mayoritas agama
Budha (50%) dan Tribal, agama-agama lain adalah agama Islam dan Kristen. Suku
bangsa mayoritas penduduk Laos adalah suku bangsa Lao (48%), kemudian disusul
Mon Khmer (25%), Thai(14%), Meo dan Yao (13%). Mata uang negara Laos adalah
Kip. Bahasa resmi yang digunakan oleh penduduk Laos adalah bahasa Laos, akan
tetapi ada juga bahasa daerah yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa
Palaungwa dan Tai. Lagu kebangsaan Negara Laos adalah Sad Lao Tang Te Deum Ma’khum Sulu Sa You Nei Asie, dan pada tanggal
19 Juli 1949 Laos memproklamirkan diri dari penjajahan Perancis dan menjadi
negara yang merdeka dan berdaulat.
Satu-satunya partai politik yang diakui di Laos adalah Partai Revolusioner Rakyat Laos
(LPRP). Kepala negara adalah seorang Presiden
yang ditentukan oleh parlemen dengan masa jabatan 5 tahun. Kepala pemerentahan adalah
seorang perdana menteri yang
ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dari parlemen. Kebijakan pemerentahan
ditentukan oleh partai melalui 9 anggota yang sangat berkuasa Politbiro dan 49 anggota Komite Pusat.
Keputusan pemerintah yang penting ditentukan Dewan Menteri.
Laos menganut konstitusi baru sejak 1991.
Pada tahun berikutnya, pemilu diadakan dengan 85 kursi baru Majelis Nasional
yang anggotanya dipilih secara rahasia dengan masa jabatan 5 tahun. Parlemen tunggal ini diperluas sejak
pemilu 1997
menjadi 99 anggota, menyetujui semua hukum baru, meskipun presidenlah yang
memegang kekuasaan dengan mengeluarkan dekrit yang sifatnya mengikat. Pemilu
yang terbaru dilaksanakan pada Februari 2002 ketika Majelis Nasional diperluas
menjadi 109 anggota.
Pemerintah Laos
- salah satu dari sekian negara komunis yang tersisa - memulai melepas
kontrol ekonomi dan mengizinkan berdirinya perusahaan swasta pada tahun 1986. Hasilnya,
pertumbuhan ekonomi melesat dari sangat rendah menjadi rata-rata 6% per tahun
periode 1988-2004 kecuali pada saat krisis finansial Asia yang dimulai pada 1997. Seperti negara
berkembang umumnya, kota-kota besarlah yang paling banyak menikmati pertumbuhan
ekonomi. Ekonomi di Vientiane, Luang Prabang, Pakxe, dan Savannakhet, mengalami
pertumbuhan signifikan beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar
dari wilayahnya kekurangan infrastruktur memadai. Laos masih belum
memiliki jaringan rel kereta api, meskipun
adanya rencana membangun rel yang menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang
dikenal dengan Jembatan Persahabatan Thailand-Laos.
Jalan-jalan besar yang meghubungkan pusat-pusat perkotaan, disebut Rute 13,
telah diperbaiki secara besar-besaran beberapa tahun terakhir, namun desa-desa
yang jauh dari jalan-jalan besar hanya dapat diakses melalui jalan tanah yang
mungkin tidak dapat dilalui sepanjang tahun. Pertanian
masih mempengaruhi setengah dari PDB dan menyerap 80% dari tenaga kerja
yang ada. Ekonomi Laos menerima bantuan dari IMF dan sumber
internasional lain serta dari investasi asing baru dalam bidang pemrosesan
makanan dan pertambangan, khususnya tembaga dan emas. Pariwisata
adalah industri dengan pertumbuhan tercepat di Laos. Akhir 2004 Laos
menormalisasi hubungan dagangnya dengan Amerika Serikat, yang membuat produsen
Laos mendapatkan tarif ekspor yang lebih rendah sehingga merangsang pertumbuhan
ekonomi mereka dari sektor ekspor.
Zaman Proto-Sejarah Laos
Zaman
protosejarah di Asia Tenggara dapat dilihat melalui berbagai macam alat dan
perkakas di bidang bercocok tanam, dan di bidang penukaran hasilnya yang
berkembang, akibatnya sumber penghidupan di bidang pertanian menanjak. Dan ini
mendorong meningkatnya pelayaran dan perdagangan yang berakibatkan munculnya
pengaruh dari dua lingkaran kebudayaan atau peradaban di kawasan Asia Tenggara.
Yang satu dari sebelah Utara Barat Laut, yaitu dari subkontinen India. Dan yang
lainnya dari sebelah Utara yaitu dari Tiongkok atau Cina. Dua kebudayaan ini
saling berkompetisi pada tingkat sejarah
di Asia Tenggara pada saat itu.
Perebutan
pengaruh atau persilangan kebudayaan antara India dan Cina dapat kita temui di
daerah Indo-Cina yakni ditemukannya alat yang berbahan perunggu yang datang
dari Cina, walaupun untuk Birma dan Semenanjung Melayu mungkin juga ada
pengaruh india muncul pada awal seribuan sebelum masehi di semua situs Neolitik
di semenanjung itu. Perunggu baru betul-betul diterima pada abad ke-6 M, yang
agaknya merupakan awal zaman Protosejarah. Contoh yang paling berarti adalah
situs Sambrong Seng yang terletak di ujung selatan danau-danau besar
Kamboja. Batu tetap masih digunakan sampai
masa akhir masa pendudukannya oleh manusia pada awal tahun mesehi. Namun di
Sambrong Seng peralatan dari orang-orang menggunakkan perunggu bahkan
mengerjakanya dengan cita rasa seni. Beberapa persamaan dekornya agaknya
menunjukkan adanya kebudayaan Dong-Song di situ. Hipotesis yang sama ditunjukkan
oleh hubungan atara hiasan yang luar biasa bagusnya yang dipahatkan pada
tembikar Sambrong Seng, dari Sa-huynh, di Anal dan seni dari Dong-song.
Kedatangan Islam Ke Laos
Laos
dikenal sebagai salah satu Negara
dengan sistem pemerintahan komunis yang tersisa di dunia dengan mayoritas
penduduknya merupakan pemeluk Budha Theravada. Tak heran kalau Laos merupakan
negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia Tenggara. Agama Islam
pertama kali masuk Laos melalui para pedagang Cina dari Yunnan. Para saudagar
Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun juga ke negara
tetangganya seperti Thailand dan Birma. Oleh masyarakat Laos dan Thailand, para
pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw.
Peninggalan
kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah: beberapa kelompok kecil
komunitas Muslim yang tingal di dataran tinggi dan perbukitan. Mereka menyuplai
kebutuhan pokok masyarakat perkotaan. Di sini, mereka memiliki masjid besar
kebanggaan. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat air mancur
Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri khas berupa
menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara untuk adzan.
Ornamen lain adalah tulisan-tulisan di dalam masjid ini ditulis dalam lima bahasa,
yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris. Selain kelompok Muslim Chin Haw, ada
lagi kehadiran kelompok Muslim lainnya di Laos yaitu komunitas Tamil dari
selatan India. Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai
Chulia di Malaysia dan Phuket. Mereka masuk Vientiane melalui Saigon yang
masjidnya memiliki kemiripan dengan masjid mereka di Tamil.
Keadaan
Laos pada masa kejayaan kerajaan di Asia
Semetara
Kerajaan yang didirikan oleh keberanian pasukan Bayinnaung berada dalam perpecahan
dan putranya Nanda Bayin secara dalam terlibat dalam perang dengan Naresuen
dari Ayut’ia, Kerajaan Laos, jauh di hulu sungai Mekong, telah mendapatkan
kembali kemerdekaannya di bawah Nokeo Koumane. Ia diprokamirkan sebagai raja di
Vientiane tahun 1591, dalam tahun berikut pasukannya mengalahkan perlawanan
Luang Prabang dan menyatukan kembali keajaan itu. Juga Negara Tran Ninh, dengan
ibu kotanya Chieng Kouang dekat Plain des Jars, mengakui kebangkitan kembali
kekuatan kerajaan Laos dengan mengirim simbul tradisional ke istananya sebagai
tanda kesetiaannya. Kebetulan, letaknya terapit di antara dua negara yang lebih
berkuasa dari padanya, Laos dan Annam, upeti dibayar untuk keduanya. Mungkin
penting bahwa pengakuan kedaulatannya dari Vientiane disetujui setiap 3 tahun,
Annam menerimanya setiap tahun. Nakeo
Koumane memerintah hanya 5 tahun. Penggantinya adalah pernah sepupunya karena
perkawinannya, Vongsa, yang memakai gelar Tammikarat dan memerintah sampai
tahun 1622. Pemerintahannya tidak berakhir dengan menyenangkan. Puteranya,
Oupagnouvarat menjadi sangat populer dan mulai mendapatkan banyak kekuasaan
atas pemerintahan hingga ayahnya yang iri hati itu mendorongnya ke dalam
pemberontakan. Angkatan Perang membantu Pangeran muda itu dan dapat mengalahkan
ayahnya dan membunuhnya. Setahun kemudian beliau sendiri lenyap dan negeri
jatuh ke dalam serangkaian peperangan dinasti yang berlangsung sampai tahun
1637. Selama kurun waktu ini 5 orang memerintah, tetapi sejarah dinasti itu
demikian kaburnya hingga sedikit saja diketahui tentang mereka.
Persaingan
perebutan tahta itu memuncak dalam tahun 1637, ketika Soulinga-Vongsa, salah
seorang daripada penuntut dalam perang itu, mengalahkan saingannya dan merebut
kekuasaan. Beliau membuktikan dirinya sebagai orang kuat yang diperlukan negeri
yang terpecah-pecah itu. Selama pemerintahannya yang 55 tahun lamanya itu,
bukan saja keamanan dalam negeri telah dipulihkan tetapi juga hubungan baik
telah ditananamkan dengan semua Negara-negara tetangganya. Pemerintahannya yang
kuat dan memberikan kerajaannya kehormatan karena kekuatannya cukup untuk
melemahkan setiap yang akan menjadi agressor menanggung resiko bila
menyerangnya. Dengan demikian beliau mampu merundingkan serangkaian pesetujuan
dengan tetangganya mengenai penetapan pasti batas kerajaannya. Sebuah catatan
yang jelas tentang suatu kunjungan ke Vientiane selama pemerintahannya telah
sampai pada kita dari pena seorang Belanda, van Vuysthof yang pergi ke sana
tahun 1641 dari kantor dagang Belanda di Phnom Penh dengan dua orang pembantu.
Gubernur Jenderal van Diemen di Batavia sangat ingin menguras sumber-sumber
“negeri gulmac dan kemenyang” itu. Kesulitan dan bahaya perjalanan ke Mekong
terjadi dari tanggal 20 Juli sampai 3 Nopember. Saudagar-saudagar diterima baik
oleh raja di Pagoda That Luong dan diadakan pertunjukan tari-tarian yang ramai,
pertarungan memakai tombak sambil menunggang kuda dan balapan perahu untuk
menggebirakan mereka. Pengiriman sejumlah besa “gulmac” dan kemenyang telah
dijanjikan. Van Vuysthof terkesan, berangkat tanggal 24 Desember, meninggalkan
kedua pembantunya untuk kemudian menyusul dengan seorang utusan Laos dan hadiah-hadiah
untuk van Diemen ( D.G.E Hall).
Melihat
singkatnya waktu berada di situ sulit untuk mengetahui berapa besar nilainya
dikaitkan dengan pernyataannya tentang masalah Laos itu, khususnya karena
catatannya tentang kenaikan Soulinga Yongsa penuh dengan variasi keterangan
yang diberikan dalam catatan pribumi. Mengenai pemerintahan negeri itu, ia
menyebut tiga orang menteri besar yang memegang kekuasaan tertinggi dengan
raja. Pertama kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Komandan Ibu Kota Vientiene.
Van Vuysthof menyebutnya “Tevinia-Assean”, yang rupanya menunjukkan Tian T’ala,
puteri tiri raja, yang menjadi perdana menteri. Yang kedua Gubernur dari
Nakhone, yang menjadi wakil raja di bagian selatan kerajaan yang meluas sampai
keperbatasan Kamboja. Yang ketiga, menteri Istana, yang mengurusi utusan-utusan
asing. Ada juga Mahkamah Tinggi, yang terdiri dari 5 orang anggota keluarga
kerajaan, yang mengurusi masalah-masalah civil dan kriminil.
Van
Vuysthof adalah orang Eropa pertama yang telah mengunjungi Vientiene.
Pengetahuannya tentang geography kerajaan itu tidak cermat dan tidak mengetahui
tentang Buddha secara mendalam, tetapi laporan hariannya itu rupanya melukiskan
gambaran yang dapat dipercaya mengenai kemakmuran kerajaan itu seperti juga
jumlah dan indahnya pagoda-pagoda dan bangunan –bangunan keagamaan lainnya.
Seperti bangunan lorong Buddha yang menarik peziarah-peziarah dari jauh dan
luas. Seorang Eropa lain, Piedmontese
Jesuit Father Giovanni-Maria Leria, tiba di Vientiene sesudah tahun kunjungan
van Vuysthof. Ia mencoba, tetapi tanpa hasil, minta ijin membuka misi Kristen
di negeri itu. Pendeta-pendeta Buddha menentang keras ketika ia merencanakan
tinggal di situ selama 5 tahun. Memorinya dipakai oleh Jesuit lain, Father
Merini, sebagai dasar bagi bukunya, Relation
nouvelle et curieuse des royaume de Tonquin et de Laos, yang diterbitkan di
Paris tahun 1666. Tak ada sesuatu yang terjadi dari selingan yang tiba-tiba ini
oleh orang Eropa ke dalam daerah yang tak dikenal di hulu Mekong itu. Sungai
itu sendiri, dengan riam-riamnya, bagian-bagian yang sempit di mana-mana,
merupakan halangan yang cukup untuk menegakkan perdagangan orang Eropa, dan
Buddhisme bagi pemasukan misi Kristen. Jelasnya sebelum sampai tahun 1861,
seorang pedagang penyelidik Henri Mouhot, telah menginjakkan kaki di kerajaan
yang terpencil itu, dan ia pergi ke Luang Prabang dengan gerobag yang ditarik
oleh sapi jantan yang telah dikebiri.
Hanya
satu peperangan yang mengganggu kedamaian yang dalam yang dipelihara oleh
tangan kuat Soulinga-Vongsa. Tahun 1651 Raja dari Tran Ninh menolak permintaannya
untuk menyerahkan puterinya Nang Ken Chan, untuk dikawini. Setelah permintaan
diajukan bekali-kali dengan hasil yang sama Soulinga-Vongsa mengirim satu
detasmen pasukan, tetapi dapat dipukul mundur. Kemudian sebuah expedisi yang
lebih kuat dikirim yang merebut ibu kota. Chieng Khouang, dan memaksa raja
menyerah. Peristiwa yang tak menyenangkan ini menyebabkan pertentangan yang
lama dan mencelakakan antara kedua Negara itu yang berlangsung sampai abad XIX.
Lepas daripada ini pemerintahan raja-raja Laos terbesar terutama dibedakan oleh
hasil penting yang dicapai kebudayaan tradisional negeri itu. Musik,
arsitektur, patung, lukisan, kerajinan emas dan perak, kerajianan menganyam
keranjang dan pertenunan, semuanya berkembang. Bahkan, seorang raja seperti Soulinga-Vongsa,
tak dapat menjamin kelanjutan stabilitas itu setelah mengkatnya. Satu-satunya
puteranya, putera mahkota, menodai isteri Kepala Persatuan Pelayan Istana, Tindakan
kriminil itu dihukum dengan hukuman mati. Ketika Mahkamah Kerajaan menjatuhkan
hukuman mati pada pemuda itu, ayahnya menolak mencampuri jalannya persidangan.
Hasilnya adalah bahwa ketika raja mangkat tahun 1694, pewaris langsungnya,
cucu-cucunya Raja Kitsarat dan Int’asom, terlalu muda untuk memerintah, dan
perdana menteri yang sudah tua, Tian T’ala merebut tahta. Enam tahun kemudian,
tahun 1700, ia diturunkan dan di bunuh oleh Nan-T’arat, Gubernur Nakhone yang
menggantinya jadi raja.
Berita
tentang perebutan ini sampai pada telinga seorang pangeran dari keluarga raja
yang menghabiskan seluruh waktu hidupnya dalam pembuangan di Hue, dan sejak
tahun 1696 telah mengadakan agitasi untuk mendapatkan bantuan Vietnam bagi
suatu serangan pada kerajaan Laos. Ia adalah, Sai-Ong-Hue, putera saudara
sulung Soulinga-Vongsa, Som-P’ou, yang telah dikalahkan dalam peperangan
perebutan tahta tahun 1637. Dalam tahun 1700 dan suatu pasukan Vietnam, dan
mendapat bantuan kuat dari para pengikut yang dikumpulkan di Tran-Ninh, ia
menyerbu Vientiane, merebut ibu kota itu, membunuh orang-orang tak berhak atas tahta,
Nan-P’arat, dan menyatakan dirinya sebagai raja.
Ketika Tian-T’ala diturunkan dari tahta tahun 1700 kedua cucu Soulinga-Vongsa, Raja Kistarat dan Int’a Som, melarikan diri ke Luang Prabang. Sai-Ong-Hue, ketika mendapatkan tahta dari Nan-Ta’arat, mengirim saudara tirinya T’ao-Nong, untuk merebut Luang Prabang atas namanya. Kedua pangeran itu, karena tak mampu melawan, melarikan dirinya ke Sip-Song-Panas, dimana sepupunya Khoumane-Noi, yang memerintah di sana, melindunginya. Tahun 1707 dengan pasukan yang terdiri dari 6.000 orang, yang digerakkan oleh Khoumane Noi, mereka mengusir Tao-Nong dari Luang Prabang. Raja Kitsarat kemudian diproklamirkan sebagai raja dan mengirim ultimatum kepada Sai-Ong-Hue, bahwa waktu mendatang propinsi-propinsi Utara Chieng-Khane akan merupakan kerajaan merdeka yang terpisah. Dan Sai-Ong-Hue, yang sibuk memperbaiki tugas pemerintahannya atas propinsi-propinsi di Selatan, tidak lama posisi mempersengketakan ultimatum itu. (D.GE Hall).
Ketika Tian-T’ala diturunkan dari tahta tahun 1700 kedua cucu Soulinga-Vongsa, Raja Kistarat dan Int’a Som, melarikan diri ke Luang Prabang. Sai-Ong-Hue, ketika mendapatkan tahta dari Nan-Ta’arat, mengirim saudara tirinya T’ao-Nong, untuk merebut Luang Prabang atas namanya. Kedua pangeran itu, karena tak mampu melawan, melarikan dirinya ke Sip-Song-Panas, dimana sepupunya Khoumane-Noi, yang memerintah di sana, melindunginya. Tahun 1707 dengan pasukan yang terdiri dari 6.000 orang, yang digerakkan oleh Khoumane Noi, mereka mengusir Tao-Nong dari Luang Prabang. Raja Kitsarat kemudian diproklamirkan sebagai raja dan mengirim ultimatum kepada Sai-Ong-Hue, bahwa waktu mendatang propinsi-propinsi Utara Chieng-Khane akan merupakan kerajaan merdeka yang terpisah. Dan Sai-Ong-Hue, yang sibuk memperbaiki tugas pemerintahannya atas propinsi-propinsi di Selatan, tidak lama posisi mempersengketakan ultimatum itu. (D.GE Hall).
Kerajaan
Soulinga-Vongsa yang dulu kuat sudah tidak ada lagi. Dari tahun 1707 Luang
Prabang dan Vientiene adalah ibu kota dari dua Negara yang terpisah dan saling
bermusuhan. Masing-masing secara pasti diperlemah oleh kenyataan bahwa yang
lain terus-menerus mencari kesempatan untuk memulihkan pesatuan yang dulu, dan
dengan tujuan ini mencari perhatian pada tetangga-tetangga seperti Burma, Siam
atau Annam, semuanya pada suatu saat atau yang lain selama abad berikutnya atau
telah menjalankan politik ekspansi sedemikian rupa.
Vientiane
di bawah Sai-Ong-Hue (1707-1735) dalam kesulitan dai semula. Tran-Ninh menolak
menyatakan bahkti. Karena itu sebuah pasukan dikirim untuk menduduki
Chieng-Khoung. Raja melarikan diri dan adiknya diangkat keatas singgasana.
Tetapi segera setelah pasukan Vientiane ditarik, raja yang diturunkan itu
mendapatkan kembali mahkotanya. Beliau memutuskan kemudian untuk melaksanakan
tindakan politik dan secara resmi menyatakan tunduk kepada Sai-Ong-Hue. Dengan
Bassak dan propinsi-propinsi yang jauh di selatan, Sai-Ong-Hue, kurang
berhasil. Chao-Soi-Sisamout, yang memerintah disana dari tahun 1713 sampai
1747, berhubungan dekat dengan Siam dan Kamboja, dan Sai-Ong-Hue, dengan
perhatiannya yang terpusat pada kerusuhan dinasti di Luang Prabang,
membiarkannya dalam keadaan bebas yang menguntungkan.
Tahun 1735 Sai-Ong-Hue, secara damai digantikan oleh puteranya Ong-Long. Pemerintahannya yang 25 tahun itu memperlihatkan kekacauan besar di Burma, Siam dan Luang Prabang, tetapi beliau menjalankan politik “safety firs” dengan sukses. Ketika Alaungpaya, si penakluk Burma itu, setelah menghancurkan keajaan Mon merdeka itu di Pegu, menyerbu ke timur dalam usaha menghidupkan kembali politik Bayinnaung, Ong-Long menyelamatkan kerajaannya dari serangan itu dengan membantu expedisi Burma itu yang menyebabkan Luang Prabang Bertekuk lutut padanya. Tetapi beliau rebut dengan Tran-Ninh. Ini adalah ceritera lama tentang penolakan membayar upeti yang diikuti dengan serangan oleh pasukan Vientiane. Tetapi kali ini, Annam campur tangan agar yang bersengketa berdamai. Karena itu Ong-Long menarik pasukannya, mengundang Raja Chom-P’ou dan Tran-Ninh untuk berunding. Karena curiga masuk perangkap Chom-P’ou menunggu tiga tahun sebelum menemui atasannya. Ketika akhirnya beliau pergi, beliau diculik dan dipenjarakan di Vientiane. Tahun 1760 Annam campur tangan lagi, Ong-Long diperintahkan melepaskan tawananya itu, dan dilepaskan. Selama sisa waktu pemerintahannya Chom-P’ou membayar upetinya secara teratur dan datang secara pribadi setiap tahun ketiga untuk menyatan bhakti.
Tahun 1735 Sai-Ong-Hue, secara damai digantikan oleh puteranya Ong-Long. Pemerintahannya yang 25 tahun itu memperlihatkan kekacauan besar di Burma, Siam dan Luang Prabang, tetapi beliau menjalankan politik “safety firs” dengan sukses. Ketika Alaungpaya, si penakluk Burma itu, setelah menghancurkan keajaan Mon merdeka itu di Pegu, menyerbu ke timur dalam usaha menghidupkan kembali politik Bayinnaung, Ong-Long menyelamatkan kerajaannya dari serangan itu dengan membantu expedisi Burma itu yang menyebabkan Luang Prabang Bertekuk lutut padanya. Tetapi beliau rebut dengan Tran-Ninh. Ini adalah ceritera lama tentang penolakan membayar upeti yang diikuti dengan serangan oleh pasukan Vientiane. Tetapi kali ini, Annam campur tangan agar yang bersengketa berdamai. Karena itu Ong-Long menarik pasukannya, mengundang Raja Chom-P’ou dan Tran-Ninh untuk berunding. Karena curiga masuk perangkap Chom-P’ou menunggu tiga tahun sebelum menemui atasannya. Ketika akhirnya beliau pergi, beliau diculik dan dipenjarakan di Vientiane. Tahun 1760 Annam campur tangan lagi, Ong-Long diperintahkan melepaskan tawananya itu, dan dilepaskan. Selama sisa waktu pemerintahannya Chom-P’ou membayar upetinya secara teratur dan datang secara pribadi setiap tahun ketiga untuk menyatan bhakti.
Ong-Long
mangkat persis sebelum serangan Burma untuk menduduki Ayut’ia karena Alaungpaya
lukanya parah. Puteranya Ong Boun meneruskan politik ayahnya membantu Burma.
Mula-mula semuanya berjalan baik. Raja Hsinbyushin menghancurkan usaha Luang
Prabang memberontak dan tahun 1767 menghancurkan Ayut’ia. Tetapi kerajaanya
sendiri diserang oleh Cina, dan beliau kehilangan kekuasaanya bukan saja atas
Siam tetapi juga atas Chiengmai dan Luang prabang. Sekarang Vientiane dalam
bahaya yang luar biasa hebatnya. Tahun 1771 diserang oleh Luang Prabang.
Untungnya Hsinbyushin saat ini telah mendorong ke luar penyerang-penyerang Cina
itu dengan Perdamaian Kaungton (1770) dan dapat mengirimkan sebuah pasukan kuat
yang mengalahkan Luang Prabang. Tetapi
gerakan P’ya Taksin untuk memulihkan kekuasaan Siam dan mengusir Burma dari
Laos berhasil dengan sukses yang makin bertambah, meskipun usaha-usaha
Hsinbyushin memulihkan negeri yang hilang selama peperangannya dengan Cian.
Karena itu ketika tahun 1774 Int’a Som dari Luang Prabang bersekutu dengan P’ya
Taksin, jalan satu-satunya untuk keselamatan Vientiane adalah meninggalkan
persekutuannya dengan Burma dan membuat perjanjian dengan Siam. Tetapi Ong-Boun
secara bodoh memilih alternatif yang menyimpang, dan sebagai akibatnya
kehilangan segalanya. Tahun 1778 Siam mendapatkan alasan yang meyakinkan untuk
menyerang Vientiane. Setelah beberapa bulan mengepungnya Jenderal Chulalok
merebut ibu kota itu terus memusatkan negeri itu di bawah penduduk militer. Ong
Boun lolos dan masuk ke dalam pembangunan.
Tahun 1707, ketika T’ao-Nong, saudara tiri
Sai-Ong-Hue, di usir dari Luang Prabang oleh Raja Kitsarat dan Int’a-Som,
beliau membawa ke Vientiane patung Prabang yang terkenal itu, “Bhudda Zamrud”
yang dibuat dai batu jasper hijau, kemudian kota itu dinamakan seperti nama
itu. Sekarang tahun 1778 Jenderal Chulalok membawanya ke ibu kota Siam.
Berhubung dengan itu, ketika istana kerajaan lama di bangun di Bangkok,
candinya yang sekarang di bangun untuknya dala tempat pemujaan istana. Itu
bukan satu-satunya barang rampasan yang diambil dari perampokan kota itu.
Menurut Wood, pada kesempatan ini Siam menandingi Burma yang “ketakutan”. Tahun
1782, ketika P’ya Taksin lenyap dari percaturan, Jenderal Chakri merebut tahta
Siam, Ong-Boun yang terbuang itu membuat penyerahan resmi. Kemudian diijinkan
kembali ke Vientiane, dan anak sulungnya Chao-Nan telah ditunjuk oleh
pemerintah kerajaan sebagai vassal Siam. Tahun 1791 keributan dinasti di Luang
Prabang memaksa anak muda itu mencampurinya. Ia berhasil mendapatkan sukses
gemilang merebut ibu kota dengan serangan mendadak dan mengejutkan, dan
menganeksir daerah kantong Houa-P’an. Tetapi atasannya, Rama I, sangat tak
menyetujui tindakannya. Karena itu, waktu pulangnya ia diturunkan dan diganti
oleh adiknya Chao-In (1792-1805). Chao-In sepanjang pemerintahannya tetap
seorang vassal kerajaan. Ia membantu Siam mengusir Burma dari Chiengsen.
Saudaranya Oupahat Chao-Anou menyamar dalam peperangan dan mendapat ucapan
selamat dari Istana Bangkok. Karena itu ketika Chao-In mangkat tahun 1805,
Oupahat Chao-Anou segera diakui sebagai raja Siam. Chao-Anou adalah orang yang mempunyai
kemampuan kuat, tetapi ambisinya yang keliru menyebabkan negerinya paling buruk
kehancurannya dalam sejarahnya. Kekuatan militernya yang dipertontonkan di
Chiengsen membuat ia disenangi oleh Siam, tetapi tujuannya yang besar
membebaskan negerinya dari ketundukan pada Bangkok. Selama beberapa tahun ia
dengan cerdik menutupinya sementara ia memperkuat posisinya dan memperindah Ibu
Kotanya. Tahun 1819 ia memadamkan pemberontakan Khas di daerah Bassac dan
menjadikan anaknya Gubernur di daerah itu, yaitu Chao-Ngo. Ia kemudian
mendorong Chao-Ngo untuk memperkuat Ubon, merupakan suatu cara yang dimaksudkan
untuk pertahanan Siam. Ia mengirim bukti tanda setia kepada Kaisar Gia Long di
Annam, dan tahun 1820 menawarkan pada Luang Prabang persekutuan rahasia dengan
menentang Siam. Pada candinya yang baru dan indah, Sisaket, yang di bangun
tahun 1824, dua kali setahun diadakan rapat besar dari semua bawahannya untuk
menyatakan bhaktinya.
Tahun
1825 ia pergi ke Bangkok untuk menghadiri upacara pemakaman Rama II. Di sana ia
minta secara resmi pemulangan kembali keluarga-keluarga Laos yang dipindah ke
Siam selama peperangan dari abad sebelumnya. Penolakan suatu permintaan yang
demikian tak masuk akal itu mendapatkan satu-satunya alasan yang berguna untuk
langkah yang sangat berbahaya dalam menyatakan kesetiaannya pada atasannya.
Tahun berikutnya Kapten Henry Burney datang ke Bangkok untuk merundingkan satu
perjanjian. Sementara itu di sana desas-desus tak berdasar sampai di Vientiane
bahwa perundingan gagal dan armada Inggris sedang mengancam Bangkok. Segera
Anou memutuskan bahwa sekarang waktunya untuk memaksakan kemerdekaannya dari
Siam dengan ujung pedang. Serangannya yang tiba-tiba sama sekali membuat Siam
tidak siap. Tiga pasukan bersamaan waktunya menuju Bangkok satu di bawah
Chao-Ngo dari Ubon, yang kedua di bawah Oupahat T’issa dari Roi-Et, dan yang
ketiga di bawah Anou sendiri dari Vientiane. Anou maju sampai sejauh Korat
dengan alat sederhana menyatakan bahwa ia datang membantu Raja Siam melawan
serangan Britania. Pasukannya bahkan mengancam Saraburi, hanya dalam 3 hari
berjalan dari ibu kota.
Tetapi
perlawanan Siam segera mulai menjadi tangguh dan loncatan monyetnya berakhir.
Pasukannya diusir kembali ke Korat dan Siam menggunakan ruang bernafas yang
telah dicapai untuk menggerakkan pasukan besar, yang ditempatkan di bawah
komando Jenderal P’ya Bodin. Ketika pasukan ini maju ke Korat, tak menjumpai
perlawanan: Anou telah mundur ke Utara. Keputusannya rupanya diambil sebagai
akibat kejutan dan kekalahan salah sebuah detasmennya yang betugas merampok
oleh pasukan Siam kecil di dataran rendah Samrit. P’ya Bodin, dengar insiatif melakukan
serangan yang sistematis yang meliputi pertama serbuan pada Ubon dan menangkap
Chao-Ngo, dan akhirnya tahun 1827 perang yang menentukan di Nong-Boua Lamp’on,
di mana, setelah peperangan yang tanpa harapan yang berlangsung 7 hari, pasukan
Siam terpaksa menyeberang Mekong. Inilah merupakan akhir peperangan itu. Anou
melarikan diri ke dalam hutan lebat, mengirim pemintaan yang sia-sia akan
bantuan ke Chiengmai, Luang Prabang dan Chieng Khouang. Siam melakukan
kehancuran hebat sekali di Vientiane. Mereka kemudian meneruskan secara
bertahap menghancurkan seluruh kerajaan itu, menggiring rakyatnya untuk
menghuni kembali daerah-daerah negeri mereka sendiri sama seperti yang
dilakukan oleh Burma dalam kurun waktu sebelumnya. Itulah akhir kerajaan Vientiane.
Tahun 1828 Anou, diburu menyebrang Mata Rantai Annam oleh Siam, muncul di Hue,
dan Kaisar Minh-Mang berjanji membantunya mendapatkan kembali kerajaannya.
Tetapi hampir semua pasukan yang dibentuk dalam perjalanan pulangnya melarikan
diri di jalan. Dan segera setelah ia tiba di ibu kotanya yang telah runtuh,
datangnya pasukan Siam menyebabkannya sekali lagi menghindar untuk berkelahi,
kali ini masuk ke daerah Tran-Ninh. Raja Chao-Noi harus memilih antara
menyalahkan Siam atau Annam karenanya, dan karena pasukan Siam sebenarnya
mengancam negerinya, dan ia sendiri mewarisi kebencian tradisional keluarganya
terhadap raja-raja Vientiane, ia menangkap pelarian itu dan menyerahkannya pada
Siam. Anou mati di Bangkok setelah 4
tahun tertangkap. Pallegoix mengatakan bahwa ia dipertontonkan dalam kerangkeng
besi dan kemudian mati karena pelakuan yang diterimanya. Tetapi ada ceritera
yang bertentangan, dan masalah itu tetap merupakan misteri yang tak
terpecahkan. Karena Chao-Noi dari Chieng-Khouang itu dendam, Annam cepat runtuh
dan tanpa belas kasihan. Dipanggil ke Hue untuk menjelaskan tindakannya, ia
berusaha meredakan kemarahan Minh-Mang dengan mengirim utusan dengan
hadiah-hadiah mewah. Tetapi ada landasannya. Pasukan Vietnam menangkapnya dan
membawahnya ke Hue, di mana ia dibunuh di muka umum. Kerajaannya, Tran-Ninh
menjadi daerah bagian kerajaan Annam.
Sejarah
kerajaan Luang Prabang dari tahun 1707 seterusnya dapat diceriterakan secara
singkat. Tahun-tahun pertamanya diributkan oleh perselisihan dinasti, melalui
usaha Int’a-Som untuk mengusir pertama dari singgasananya saudaranya Raja
Kitsarat (1707-1726) dan kemudian sepupunya Khamone-Noi (1726-1727).
Khamone-Noi, pribadi yang menarik, yang petualangannya penuh tada tanya, masih
merupakan pokok banyak pemutaran sejarah, mempunyai nafsu untuk berburu. Dalam
salah satu ketidak hadirannya pada expedisi perburuan Int’a-Som, yang ia secara
hati-hati dibiarkan hidup bebas di ibu kota, meskipun suatu usaha dijalankan
untuk merebut tahta, mengobarkan pemberontakan istana dan menjadikan dirinya
raja. Khamone-Noi, setelah mengetahui apa yang tejadi, pergi menyelamatkan diri
ke Chiengma, yang 10 tahun sebelumnya telah memberontak melawan Burma. Di sana
ia dapat menguasai kerajaan itu, mengalahkan pasukan Burma yang dikirim untuk
melawannya tahun 1728, dan dinobatkan sebagai raja. Int’-Som pemerintahannya
panjang yang berlangsung sampai tahun1776. Secara intern pemeintahannya tenang
sekali. Tetapi keluar ia behadapan dengan bahaya yang serius. Keterpencilannya
menyebabkan ia memasuki hubungan diplomatic dengan Cina. Babad pemerintahanya
banyak kaitan pentingnya dengan dua duta yang ia kirim ke Peking tahun 1729 dan
1734. Tahun 1750 Annam menuntut upeti, dan di situ masalahnya selesai. Kerusuhan
dinasti Le telah kehilangan semua kekuasaannya atas masalah-masalah Negara,
menjadi perhitungan bagi pemeran kelemahannya ini.
Tetapi
bahaya terbesar datang dari hidupnya kembali kekuasaan Burma di bawah
Alaungpaya (1752-1760) dan pengganti-penggantinya. Luang Prabang sebagaimana
telah kita ketahui telah berhenti untuk bertunduk pada tahun 1753 dan harus
menghias banyak sekali rasa bhakti, termasuk putera Int’a-Som, Tiao Vong.
Ketika Alaungpaya mangkat, Int’a-Som tak henti-hentinya mencoba mendapatkan
kembali kemerdekaannya. Tetapi serangan-serangan Cina pada Burma dan
kemenangan-kemenangan P’ya Taksin di Siam membuat situasi lebih menguntungkan
dan ia bukan saja mengumumkan lepasnya dari keunggulan Burma tetapi tahun 1771
memberanikan diri menyerang Vientiane, sekutu Burma. Pasukan Burma
mengalahkannya di medan Muong-Kassy dan menyelamatkan kota tempat perang itu
berlangsung tetapi pulang kembali tanpa berbuat sesuatu untuk memulihkan
kedaulatan Burma atas Luang Prabang Karena itu Int’a-Som didorong meletakkan
nasibnya pada P’ya Taksin, dan tahun 1774 masuk dalam pesekutuan pertahanan
dengannya melawan Burma. Ia tanpa menunggu mengambil langkah telalu jauh,
karena ketika tahun 1778 Siam merebut Vientiane dan menyapu kemerdekaannya
mereka minta anaknya Sotika-Koumane (1776-1781) untuk menerima syarat-syarat
seperti menyerahkan Luang Prabang dan juga suatu posisi ketergantungan. Tahun 1781 adik Sotika-Koumane, Tiao-Vong,
memaksanya melepaskan diri menurut caranya sendiri. Enam tahun kemudian raja
baru itu mangkat terlalu cepat tanpa sebab dan selama 4 tahun negeri ditarik
oleh serangkaian pertikaian antara saudara-saudaranya yang ada. Ini, seperti
telah kita lihat di atas, menyebabkan Chao-Nan dari Vientiane campur tangan.
Salah seorang dari saudara yang bertengkar itu, Anou-rout, anak kedua
Int’a-Som, menyusun perlawanan terhadap penyerbu, tetapi gagal menyelamatkan
ibu kota. Waktu jatuhnya ia melarikan diri ke Bangkok, di mana selama dua tahun
(1791-1793) ia hidup sebagai tawanan Negara.
Sementara
itu Raja Chao-Nan, setelah menjalankan pembunuhan besar-besaran di Luang
Prabang, mamindahkan banyak kepala keluarga rakyat dan kembali pulang. Ia akan
mendorong penaklukkannya lebih lanjut, tetapi takut akan serangan kemarahan
besar dari rajanya yang berdaulat. Tetapi dengan menyerang semua itu, ia telah
berjalan terlalu jauh, dan akibatnya diturunkan dan diperintahkan tinggal di
Bangkok. Segera setelah kedatangannya di sana Anourout yang terhukum itu
dibebaskan atas pemintaan kekaisaran Cina dan kembali memerintah Luang Prabang.
Di sana ia sibuk memperbaiki kehancuran kota dan melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang diberkahi Buddha. Tahun 1817 dan ia melepaskan menurut
caranya dari anaknya, Mant’a-T’ourat.
Raja baru ini yang tidak muda lagi itu, telah dilahirkan tahun 1775,
telah puas mengikuti jejak kaki ayahnya dan memerintah dengan tenang. Ia jauh
berhati-hati sekali untuk masuk ke dalam persekutuan anti-Siam yang diusulkan
oleh Anou dari Vientiane. Tetapi kemenangan Siam atas Anou dan jatuhnya
Vientiane menyebabkan ia mencoba beberapa usaha mengarahkan kembali politiknya.
Sejak itu tahun 1831 dan lagi tahun 1833 ia mengirim utusan-utusan ke Hue
menawarkan bhakti dan upeti tradisional berupa bunga-bunga emas dan perak yang
kakeknya secara kasar menolaknya tahun 1750. Tetapi ini tidak ada tujuannya.
Pukulan Siam telah diletakkan di pundaknya, dan Minh-Mang dari Hue dengan
hati-hati melubangi surat yang dibawa oleh utusannya. Tetapi tahun-tahun
berikut mereka senang pada Perancis ketika mereka mencari alasan untuk
meluaskan kekuasaan dari Annam ke negeri Laos menyeberang Mekong. Ketika
Mant’a-T’ourat mangkat tahun 1836 seorang menteri Siam menghadiri pembakaran
mayatnya dan secara umum menyatakan hak kedaulatan Siam. Anaknya dan
penggantinya yang ditunjuk, kemudian tinggal di Bangkok sebagai jaminan. Ia
dengan sabar menunggu selama 3 tahun sebelum menerima pengakuan resmi dari Raja
Siam dan ijin kembali ke negerinya.
Zaman
Pengaruh Imperialisme Barat di Laos
Prancis
merupakan Bangsa Barat yang berhasil menanamkan kekuasaannya di Indo-China.
Vietnam adalah Negara di kawasan Indo-China yang paling keras melawan
imperialisme Prancis, terutama pada
pemerintahan Tu-Duc, jadi pada tahap awal penjajahannya di kawasan Indo-China
difokuskan untuk menguasai Vietnam terlebih dahulu. Perancis mengirimkan sebuah
ekspedisi awal ke Laos untuk menyelidiki rute perdagangan sungai Mekong ke
Cina. Ekspedisi tersebut terdiri dari 10 orang Perancis dan sejumlah Pribumi
sebagai juru bahasa. Ekspedisi tersebut dimulai dari Saigon tanggal 5 Juni
1863. Setelah meninggalkan Angkor ekspedisi itu perlahan-lahan terus menghulu
ke reruntuhan kota Vientiane, yang diketemukan telah ditumbuhi tumbuh-tumbuhan
liar. Kemudian terus ke Luang Prabang dan desa di dekatnya.
Pada
tahun 1886, Perancis mendapat izin dari Laos untuk memperluas pemerintahannya
di Laos dengan menempatkan wakil konsulat di Luang Prabang. Dalam perang
Vietnam-Prancis yang berlangsung pada 1883, pihak Vietnam mengalami kekalahan
dan disepakati perjanjian Hue 1883 yang menetapkan bahwa Vietnam harus mengakui
naungan Prancis atas Vietnam. Sejak itulah Prancis betul-betul berkuasa atas
seluruh Vietnam dan melanjutkan perluasan imperiumnya ke wilayah Laos dan
Kamboja. Di tahun 1887, Laos, mengantisipasi ekspansi bangsa Perancis dengan
mengosongkan sebagian besar daerah Laos. Laos dapat dikuasai tanpa kendala
berarti sejak 20 Januari 1893. Tahun berikutnya Kamboja dapat dikuasai. Jadi
pada tahun 1894 Prancis telah mampu menguasai kawasan Indo-China dan menyatakan
daerah tersebut adalah daerah protektorat Prancis.
Politik Kolonial Prancis di Laos
Politik
kolonial Prancis di Laos termasuk dalam politik Prancis yang diterapkan di
kawasan Indo-China. Politik kolonial Prancis secara garis besar
dikonsentrasikan pada bidang politik, ekonomi dan social budaya. Dalam bidang
politik, pemerintahan kolonial Prancis melakukan pengendalian kekuatan gerakan
perlawanan lokal dengan politik pecah belah. Langkah utama yang dilakukan
adalah pembagian territorial Indo-China. Hal ini terbukti, bahwa setelah
Prancis berhasil menguasai seluruh kawasan Indo-China serta dapat melumpuhkan
perlawanan dan kerusuhan-kerusuhan di daerah Tongking, Chochin-China dan daerah
lain, pada. Hal ini terbukti, bahwa setelah Prancis berhasil menguasai seluruh
kawasan Indo-China serta dapat melumpuhkan perlawanan dan kerusuhan-kerusuhan
di daerah Tongking, Chochin- China dan daerah lain, pada Oktober 1887 Prancis
menentukan politik pemerintahan kolonial atas Indo-China. Wilayah Annam,
Tongking, Laos dan Kamboja sebagai daerah protektorat kolonial Prancis langsung
di bawah kekuasaan Menteri Luar Negeri.
Sejak
tahun 1989 Kamboja, Chonchin-China, Annam dan Tongking dijadikan sebuah Union
Indo-China. Pemerintahan yang lebih tinggi dipercayakan kepada seorang gubernur
Jendral Sipil yang membawahi lima departemen. Bidang Ekonomi Prancis melakukan
eksploitasi terhadap kekayaan alam dan penduduk Indo-China. Tetapi Perancis
tidak banyak tertarik dengan wilayah Laos. Paris mengirimkan pejabat-pejabat
resmi Vietnam ke Laos untuk mengatur pemerintahan, tetapi peranannya hanya
sedikit dalam mengembangkan perekonomian Laos. Dalam Bidang sosial budaya,
Prancis menerapkan politik asimilasi yaitu memasukkan budaya Prancis ke
Indo-China atau dengan kata lain mem-Prancis-kan Indo-China. Namun demikian
politik Prancis ini gagal karena Prancis ragu-ragu dalam memperluas pendidikan
karena takut timbul nasionalisme dari kaum terpelajar.
Kemerdekaan
Negara Laos
Pada
bulan September 1940, setelah Perancis diserang oleh Jerman, pasukan Jepang menduduki
Indo-Cina dengan tanpa perlawanan. Secara resmi kekuatan kolonial Perancis
meninggalkan seluruh instalasi militernya untuk digunakan pasukan Jepang. Dan
juga terjadi pertukaran pemerintahan kolonial Perancis secara resmi ke Jepang.
Perang dunia II tidak banyak mengakibatkan kerusakan di Laos, bila dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar dan Filipina. Di
Asia Timur, Perang dunia ke II berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945, yang
ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Kemudian, Perancis mencoba
mendirikan kembali kekuatan kolonialnya di Kamboja, Vietnam dan Laos. Pada
tanggal 1 September 1945, negara Laos menyatakan kemerdekaannya. Perancis
menolak untuk menerima hal tersebut, dan membalas dengan mengirim pasukannya ke
Laos. Perang gerilya berawal ketika tentara Laos melawan kekuatan kolonial
Perancis.
Tiga
orang pangeran yang terkenal melawan penjajah adalah Pangeran Souvanna Phoma,
Pangeran Souphanavong dan Pangeran Oune Sananikone. Pangeran Souphanavong yang
banyak berkenalan dengan paham sosialisme dan menjalin hubungan dengan Ho Chi
Minh dikenal sebagai pemimpin kelompok komunis. Sebaliknya Pangeran Oune
Sananikone yang lebih dekat dengan Muangthai dikenal sebagai pemimpin yang
beraliran nasionalis. Sedangkan Souvanna Phoma kakak dari Souphanavong lebih
mengambil jalan tengah. Terdesaknya Prancis dikawasan Indo-Cina sebagai akibat
dari perlawanan yang sangat gigih dari kelompok komunis dikawasan Indo-China
yang bersatu untuk mengusir imperialsme memaksa Negara-negara sekutu seperti
Amerika, Prancis, Inggris mengadakan konverensi Jenewa pada tanggal 25 April
1954 utuk membahas masalah Korea dan Indo-China. Selain itu China, Uni Soviet,
Republik Sosialis Vietnam (Vietmin), Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Korea
Utara dan Korea Selatan hadir dalam konverensi Jenewa.
Pada 20 Juli 1954 konverensi Jenewa
menghasilkan 6 bab dan 57 pasal, yang terkait dengan Indo-China antara lain
berisi keputusan mengakui kemerdekaan penuh pada Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Serta diputuskan pula pembagian Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan. Dengan ketiga aliran yang ada di Laos ternyata sulit untuk membangun
aliansi. Apalagi setelah kedatangan Amerika Serikat sesudah Perang Dunia II
dalam rangka mempopulerkan doktrin John Foster Dulles yang anti komunis, perpecahan
antara pemimpin Laos semakin menajam setelah Souphanavong dengan partai Pathet
Lao yang beraliran komunis melancarkan serangan dan pengaruh di Laos dengan bantuan
tentara Viet Minh. Sedangkan golongan kanan yang nasionalis di bawah pimpinan
Sananikone menjadi lebih kaya karena bantuan Amerika Serikat. Meski kelompok
nasionalis ini kurang popular dalam kepemimpinannya di Laos, nampaknya Laos
lebih cenderung mengambil jalan tengah, walaupun kepopuleran golongan Pathet
Lao cukup menonjol.
Sehubungan
dengan itulah maka dalam perkembangannya yang berhasil dan banyak menduduki
jabatan Perdana Menteri (PM) adalah Souvana Phoma. Pada waktu menduduki jabatan
Perdana Menteri, Phouma terus berusaha uttuk membentuk koalisi dengan adiknya
Souphanavong. Dan hal ini pernah tercapai dalam tahun 1973, setelah Souvanna
Phoma bersama Vongvichit dari pihak Pathet Lao membubuhkan tanda tangan diatas
kertas perjanjian damai pada hari ke 23 Februari 1973.
Konflik Internal Laos
Setelah lebih dari 3
dekade, sejak tahun 1949 sampai tahun 1975, situasi politik di Laos selalu
dalam keadaan yang tidak stabil. Perang saudara diantara 3 golongan tidak
separah dengan perang saudara di Vietnam atau di Kamboja.
Pada tahun 1950 Laos diberikan semi-otonomi
sebagai "negara terkait" dalam Uni Prancis. Perancis tetap memegang
kendali de facto sampai 22 Oktober 1953, ketika Laos meraih kemerdekaan penuh
sebagai monarki konstitusional. Di bawah pengecualian khusus pada Konvensi Jenewa, misi
pelatihan militer Perancis terus mendukung Royal Lao Angkatan Darat. Pada tahun
1955, Departemen Pertahanan AS menciptakan Kantor Program Evaluasi khusus untuk
mengganti dukungan Perancis dari Royal Lao Angkatan Darat terhadap komunis
Pathet Lao sebagai bagian dari kebijakan penahanan AS. Laos diseret ke
dalam Perang Vietnam. Bagian timur negara itu diikuti Vietnam Utara dan Vietnam
Utara diadopsi sebagai negara persaudaraan. Laos diperbolehkan Vietnam Utara
untuk menggunakan tanah sebagai rute pasokan untuk perang melawan Selatan.
Sebagai tanggapan, Amerika Serikat memulai kampanye pemboman terhadap Vietnam
Utara, yang didukung kekuatan antikomunis teratur dan tidak teratur di Laos dan
mendukung invasi Vietnam Selatan Laos. Hasil dari tindakan ini adalah serangkaian
kudeta d'état dan, akhirnya terjadi
perang saudara antara
pemerintahan Laos Royal dan
Laos Pathet.
Dalam Perang
Sipil, Korut bersenjata berat dan pertempuran mengeras
Vietnam Army adalah kekuatan nyata di balik pemberontakan Lao Pathet. Pada
tahun 1968, tentara Vietnam Utara
meluncurkan serangan multi-divisi untuk membantu Lao Pathet untuk melawan Royal
Lao Angkatan Darat. Serangan itu mengakibatkan sebagian besar demobilisasi
tentara, meninggalkan konflik untuk pasukan tidak teratur dibangkitkan oleh
Amerika Serikat dan Thailand. Serangan itu mengakibatkan banyak nyawa melayang.
Pemboman udara
besar-besaran dilakukan oleh Amerika Serikat. The Guardian melaporkan bahwa
Laos terkena rata-rata satu B-52 bombload setiap delapan menit, 24 jam sehari,
antara 1964 dan 1973. Pembom AS menjatuhkan bom lebih pada Laos dalam periode
ini dari yang dijatuhkan
selama seluruh Perang Dunia Kedua. Dari 260 juta bom yang menghujani, terutama
pada Xiangkhouang Provinsi di Plain of Jars, sekitar 80 juta gagal meledak,
meninggalkan warisan yang mematikan. Laos adalah negara yang paling banyak dibom, per
kapita, di dunia.
Peristiwa
perjanjian damai pada 23 Februari 1973 telah menimbulkan reaksi keras terutama
dari golongan kanan. Banyak perwira militer yang berimpati dengan golongan
nasionalis merasa tidak puas dan menuduh bahwa Phouma telah menjual Laos kepada
orang-orang komunis. Kemudian santer terdengar isu mengenai akan adanya kudeta
terhadap pemerintahan Phoma. Bagi rakyat dan para diplomat di Laos sebenarnya
tidak begitu tertarik atau terkejut mendengar isu tersebut, mengingat kudeta
seolah-olah telah menjadi sebagian kultur dalam pergantian kepemimpinan di
Laos. Desas-desus itu ternyata menjadi kenyataan setelah 4 bulan dari
penandatanganan perjanjian damai tersebut, kelompok militer dibawah Jendral
Thouma melakukan kudeta. Tetapi kudeta ini tidak mendapat dukungan pihak
Amerika Serikat yang sebetulnya sangat diharapkan oleh golongan kanan. Amerika
Serikat melalui John Dean Gunter wakil duta besar Amerika untuk Laos mengatakan
bahwa pihak Amerika lebih mendukung politik koalisi yang dijalankan Phouma.
Tanpa bantuan Amerika maka kudeta ini dapat segara digagalkan dan Jendral
Thouma sendiri terbunuh, sedang anak buahnya melarikan diri ke Muangthai.
Setelah mundurnya kekuatan Amerika Serikat dari Indo-Cina di tahun 1973,
pemerintahan sayap kanan di Vientiane menggantikan pemerintahan koalisi yang
netral dan komunis-komunis Pathet Lao.
Pada tahun 1975, setelah pasukan komunis
menaklukan ibukota Vietnam dan Kamboja, komunis Pathet Lao memperoleh kekuatan
tunggal di Laos. Sementara di Laos, sebagian penduduk tertahan di tempat
penampungan, dimana tidak terjadi balas dendam seperti di Kamboja. Perdana
menteri netralis terdahulu yang bernama Souvana tidak ditahan tetapi hanya diturunkan
pangkatnya menjadi penasehat pemerintah. Dengan perkembangan tersebut maka
tentara Pathet Lao yang bermarkas di perbatasan sebelah Utara semakin bebas
bergerak memasuki kota Vientiene dan Luang Prabang tanpa dicurigai lagi.
Perkembangan ini sangat menggembirakan pihak Hanoi yang selama perjuangannya
selalu membantu gerakan komunis Pathet Lao. Apalagi setelah tahun 1975 dan
memasuki tahun 1976 ternyata gerakan komunis di Laos sudah begitu kuat. Dan
dalam pemilihan umum yang dilaksanakan kali ini membuat warna merah berhasil
mengendalikan pemerintahan Laos, walaupun ide koalisi itu tetap ada. Tetapi
komunis tetap komunis, prinsip komunisme untuk mengkomuniskan suatu Negara yang
ditempatinya akan terus diusahakan. Sehingga lama kelamaan menggeser peranan kaum
netralis.
Perlawanan Gerilyawan Nasionalis
Sejak
Laos berangsur-angsur dikuasai oleh Pathet Lao, banyak orang, bekas pejabat
pemerintahan lama dan orang orang yang setia pada raja, berusaha mengadakan
perlawanan terhadap penguasa baru. Penguasa baru Laos di samping menghadapi
golongan nasionalis juga masih menghadapi serangan-serangan dari suku Meo yang
tidak mau tunduk pada penguasa Pathet Lao. Pada perkembangan selanjutnya suku
Meo dan golongan kanan bergabung melawan penguasa Pathet Lao. Dari Bangkok
tanggal 7 Januari 1976 diberitakan bahwa tentara dari suku Meo telah menyerang
dan menewaskan enam tentara Pathet Lao di daerah pegunungan dekat Vientiane.
Sementara itu seorang pemimpin suku Meo mengatakan kepada AFP di Bangkok
tanggal 20 Januari 1976 bahwa :1) suku Meo sekarang menguasai kembali daerah
Long Chen; 2) suku Meo mempunyai 7.000-8.000 orang tentara yang beroperasi di
Laos dan diorganisir dalam kelompok-kelompok gerilya kecil-kecil; 3) seku Meo
mempunyai cukup persediaan suplai senjata.
Tanggal 8 dan 9 Maret gerilyawan Front Rakyat
Laos yang anti komunis menyerang penjara Tam Khe dekat Viantiane dan menewaskan
20 orang penjaganya. Surat kabar Bangkok, Thairath tanggal 27 Maret 1976
memberikan bahwa: 1) gerilyawan anti komunis Laos telah membangun
pengkalan-pangkalan di pulau-pulau penting di Sungai Mekong antara Savanrakhat
dan Pakse; 2) sekitar 200 gerilyawan telah melakukan beberapa serangan terhadap
pasukan penguasa Pathet Lao; 3) gerilyawan-gerilyawan tersebut mempunyai
senjata- senjata yang baik dan amunisi yang cukup. Suatu pertempuran lain
terjadi di selatan Vientiane tanggal 23 Maret 1976 antara pasukan Pathet Lao
dan gerilyawan anti Komunis mengakibatkan empat tentara Pathet Lao tewas dan
dua buah instalasi artelari di Simmano dan Khoyaideng hancur. Sedang di
desa-desa sebelah timur Viantiene tanggal 21 Maret 1976 gerilyawan anti komunis
menghadang iringan militer Pathet Lao dan menewaskan lima tentara Pathet Lao.
Dua granat yang hendak meledak di Keduataan besar Uni Soviet tanggal 13 Maret
1976 mengakibatkan empat diplomat Uni Soviet luka-luka. Kemudian segerombolan
penyerang melemparkan dua granat ke Keduataan Besar Kuba tanggal 3 April 1976.
dari Bangkok tanggal 16 April 1976 diberitakan bahwa gerilyawan anti komunis
Laos yang menemakan dirinya Front Patriotik Revolusioner Laos (LRPF) telah
menyatakan bertanggungjawab atas serangan-serangan terhadap kedua kedutaan
tersebut. Lewat selebaran-selebaran, kelompok ini menyatakan bahwa: 1) pihak
Uni Soviet dengan terang-terangan telah memberdayakan rakyat Laos untuk
menjadikan kerajaan Laos sebagai satelit Uni Soviet; 2) LRPF akan melancarakan
serangan terhadap orang-orang Uni Soviet di Negara-negara yang menandatangani
persetujuan Jenewa tahun 1954 yang menjamin netralitas Kerajaan Laos dibawah
dwi ketua Uni Soviet dan Inggris.
Untuk
menanggulangi serangan-serangan dari gerilyawan nasionalis pemerintah Laos
secara terus-menerus berusaha membasmi gerakan-gerakan itu. Dari Bangkok
tanggal 4 April diberitakan bahwa pemerintah Laos telah mengoperasikan
pesawat-pesawat tempur pembom buatan AS, T-28, untuk menghancurkan perlawanan
gerilyawan nasionalis di Laos Utara. Radio Laos tanggal 20 Maret mengecam
perbuatan sabotase, subversi dan pengrusakan yang dilakukan golongan anti
revolusioner, dan mendesak rakyat serta Angkatan Bersenjata untuk memperkuat
keamanan dan memepertinggi kewaspadaan. CIA telah mengorganisir golongan
tersebut dan berusaha menjadikan Muangthai sebagai pangkalan anti Laos. Seorang
bekas perwira Laos yang lari ke Muangthai menyatakan di Nong Khai tanggal
tanggal 6 Mei 1976 bahwa Pathet Lao sedang memperbaiki semua pesawat-pesawat
tempur dan transportasi yang ditinggalkan oleh bekas Angkatan Udara Laos untuk
mempersiapkan operasi militer besar-besaran guna menghadapi beberapa gerakan
gerilyawan yang telah muncul di beberapa daerah di Laos. Untuk itu, ahli-ahli
mesin Pathet Lao yang belajar selama tiga tahun di Uni Soviet telah kembali ke
Laos.
Seorang
pemimpin suku Meo menyatakan di Bangkok tanggal 22 Juli 1976 bahwa ratusan
gerilyawan suku Meo telah tewas akibat pemboman Pathet Lao di daerah Long Cheng
(200 km sebelah timur Vientiane), sasaran pemboman tersebut sebenarnya Muong
Cha, Pha Oio, Phi Khaio dan Pha Khas, serta sebuah pesawat intai dan holikopter
Pathet Lao yang dikemudikan oleh pilot-pilot Uni Soviet berhasil di tembak
jatuh. Suku Meo dan rakyat Laos yang anti komunis terus melancarkan perlawanan
dengan nama “Tentara Anak Surga”. Perpecahan terjadi antara golongan ekstrim
yang di pimpin oleh PM Kaysone Phomvihan dan kelompok moderat yang dipimpin
oleh Presiden Souphanouvong. Jumlah suku Meo yang mengungsi ke Muangthai saat
itu diperkirakan 40.000 orang. Sekitar 500 tahanan politik melarikan diri dari
penjara Vientiane pada tanggal 25 April 1976 setelah berhasil merebut senjata-senjata
dari gudang penjara dan menewaskan 12 orang penjaganya.
Bong
Souvannavong, bekas politikus terkemuka Laos dan Pangeran Sonk Banavong
termasuk diantara para tahanan yang melarikan diri. Tanggal 26 April 1976
penguasa Laos menyatakan berlakunya jam malam di Vientiane utnuk mencari para
tahanan yang melarikan diri. Sementara itu beberapa tahanan yang sampai di
Muangthai menyatakan bahwa sekitar 100 tahanan telah terbunuh. Untuk mencegah
masuknya para tahanan, Muangthai telah menutup dua pos perbatasan dan
menghentikan lalu lintas ferry di Sungai Mekong. Pada tanggal 27 April 1976 di
sungai Mekong terjadi pertempuran antara Pathet Lao dan para tahanan yang
melarikan diri. Sampai pada tahun 1978 penguasa Muangthai telah menahan 50
tahanan yang berhasil menyeberangi sungai Mekong. Dikabarkan bahwa sekitar 150
tahanan masih bebas di Laos dan 180 orang lainnya ditangkap.
Kebijakan Dalam Negeri Pemerintahan
Pathet Lao
Sidang
Majelis Rakyat Tertinggi pertama berlangsung Di Vientiane tanggal 23 Desember 1975
sampai 3 Januari 1976 dan memutuskan: 10 membuat rancangan konstitusi baru,
rencana kerja Majelis serta program pemerintah; 20 hari Nasional Laos tanggal 2
Desember 1976. dari Vientiane tanggal 11 April 1976 diberitakan bahwa
pemerintahan Laos telah memulai suatu revolusi kebudayaan pertama. Untuk
melaksanakan revolusi tersebut, diadakan indoktrinasi-indoktrinasi khusus untuk
para pemuda yang menganggur, para perusuh, para pejudi, dan pecandu obat bius.
Ratusan orang telah ditahan termasuk orang-orang asing yang kebanyakan berasal
dari Vietnam dan China.
Radio
Laos tanggal 11 Mei 1976 memberitakan bahwa pemerintahan Laos telah membebaskan
kelompok pertama bekas perwira-perwira golongan kanan yang menjalani pendidikan
kembali selama satu tahun. Mereka yang dibebaskan itu ditugaskan kembali dan di
satukan ke dalam resimen baru. Masalah kehidupan beragama pada awal tahun 1976
agak ramai dibicarakan. Partai komunis yang berkuasa telah mengecam agama
Katolik sebagai agama yang mendatangkan gaya hidup Barat yang tidak sesuai
dengan situasi Laos dan sering dijadikan alat CIA. Pernyataan pemerintah baru
tanggal 6 April 1976 menyatakan bahwa agama budha adalah agama baik dan telah
memainkan peranan penting dalam perjuangan untuk menanamkan dan membangun
Negara. Perayaan dan keramaian tahun baru Laos akan diselenggarakan pada
tanggal 13-15 April setiap tahun. Wakil menteri Urusan Dalam Negeri Kolonel
Deuan Soun Rhen mengatakan di Vientiane tanggal 23 April 1976 bahwa pemerintah
Laos menyambut baik segala bantuan dari setiap Negara, organisasi atau individu
manapun untuk membantu Negara menyembuhkan luka-luka perangnya. Pemerintahanya
juga akan meneruskan kampanye utnuk memberantas korupsi. Tanggal 15 Juni 1976
pemerintah Laos memperkenalkan mata uang baru yang bernama KIP Front Pembebasan
Laos dengan nilai 1.200 KIP untuk Satu US$.
Kebijakan Luar negeri pemerintahan
Pathet Lao
Untuk
mencari dukungan dan bantuan keuangan guna membiayai perekonomian dalam negeri,
penguasa baru Laos mengusahakan bantuan-bantuan dari luar negeri, baik melalui
diplomasi tak langsung maupun langsung. Suatu kunjungan resmi PM Kaysone
Phomvihan ke RRC berlangsung tanggal 15-24 Maret 1976. tanggal 16 Maret pejabat
PM Hua Kuo-feng mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin Laos hendaknya berhati-hati terhadap
Negara-negara besar yang disatu pihak mengatakan peredaan ketegangan tetapi di
lain pihak meluaskan pengaruhnya dimana-mana. Kaysone Phomvihan megatakan bila
RRC berpendapat bahwa Uni Soviet merupakan Negara paling berbahaya, maka
pendapat itu keliru karena musuh Laos bukan Uni Soviet tetapi imperialis
Amerika Serikat. Tanggal 18 Maret PM Kaysone dan pejabat PM Hua Kuo-feng
menandatangani suatu perjanjian kerjasama ekonomi dan teknik, yang menetapkan
RRC untuk terus memberikan pinjaman-pinjaman bebas bunga kepada Laos.
Sebuah
sumber dari Laos mengatakan bahwa RRC telah memberikan pinjaman baru untuk
melanjutkan proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan termasuk jaringan
jalan raya. PM Kaysone tiba di Moskwa pada tanggal 20 April 1976 untuk suatu
kunjungan resmi. PM Alexei Kosygin menyatakan bahwa salah satu tujuan politik
luar negeri Uni Soviet adalah menjamin keamanan di Asia atas usaha-usaha
bersama dengan Negara-negara di benua tersebut. Kunjungan delegasi Laos
tersebut akan mempererat hubungan dua Negara. Tanggal 21 April 1976 PM Kaysone
mengadakan pembicaraan dengan PM Alexei Kosygin, Menteri Luar Negeri Andrei
Greckho, Menteri Pertahanan Marsekal Andrei Gromyko, dan seorang anggota Polit
Biro Partai Komunis Uni Soviet, Michail Suslov mengenai pengukuhan ikatan
persahabatan kedua Negara. Di Moskwa tanggal 22 April 1976 ditandatangani tiga
perjanjian yaitu: 1. Persetujuan Kerjasama Kebudayaan dan Ilmiah yang
ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Andrei Gromyko dan Menteri Luar Negeri
Phun Sipaset. 2. Perjanjian Perdagangan, Peredaran Perdagangan dan
Pembayaran-pembayaran yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Luar Negeri
Uni Soviet, Nikolai Patulichev dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Laos,
Masuk Sarempheng. 3. Sebuah pernyataan bersama yang isinya tidak diumumkan
serta ditandatangani oleh PM Kaysone dan PM Alexei. PM Kaysone Phomvihane pada
tanggal 4 September 1976 berangkat menuju Uni Soviet, Kuba, Honggaria, Rumania,
Polandia, Cekoslowakia dan Bulgaria untuk suatu kunjungan persahabatan dan
mempererat hubungan bilateral.
Dalam komunikasi bersama di Havana pada
tanggal 17 September 1976, Laos dan Kuba menyatakan bahwa pasukan Amerika
Serikat yang masih ada di Asia Tenggara agar segera ditarik dan seluruh
pangkalan Amerika Serikat di wilayah itu agar segera dibongkar, pasukan asing
agar ditarik dari Korea Selatan, usul bagi terciptanya wilayah damai di Samudra
Hindia perlu didukung, kedua Negara menyampaikan rasa solidaritas kepada rakyat
Namibia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan, serta mendukung perjuangan Mozambik
untuk mengakhiri rencana-rencana dan tindakan-tindakan agresif kaum imperialis
dan rasialis, satu-satunya pemecahan adil dalam penyelesaian masalah Timur
Tengah adalah penarikan seluruh tentara Israel dari wilayah-wilayah yang secara
tidak sah merebut wilayah Palestina pada tahun 1967 dan melindungi hak-hak
fundamental rakyat Palestina. kedua Negara mendukung perjuangan Negara-negara
Non-blok.
Kepala
Kementerian Luar Negeri Laos, Soubanh Srithirat, menyatakan di Vientiane pada
tanggal 21 April 1976 bahwa Laos membutuhkan bantuan dari semua Negara sahabat,
terutama Prancis. Hubungan Laos dan Prancis akan segera diperbaiki, terutama
yang menyangkut kerjasama ekonomi, kebudayaan, dan teknik. Sementara itu
bantuan dari pemerintah Belanda yang berupa 32 ton obat-obatan, gula, dan
mesin-mesin tiba di Vientiane pada tanggal 9 Januari 1976. Timbul berbagai
problema lain yang harus dihadapi. Problema itu antara lain karena Laos tidak
memiliki daerah pantai sebagai pelabuhan. Sebab jalur-lalulintas
perekonomiannya melewati Muangthai. Kedua Negara ini saling berbatasan dan
bersahabat sebelum Pathet Lao berkuasa di Laos. Tetapi hubungan ini semakin
memburuk sejak Laos jatuh ketangan Komunis. Padahal Muangthai mengambil politik
anti Komunis. Masalah lain yang dihadapi Laos adalah tidak dimilikinya
tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman di berbagai bidang. Sebab semenjak Pathet
Lao berkuasa banyak tenaga yang memiliki keahlian dan berpengalaman melarikan
diri ke Muangtahi. Sehingga Laos kehilangan tenaga-tenaga yang potensial.
Dalam situasi yang seperti itu, merupakan
kesempatan yang sangat tepat bagi Vietnam untuk memperbesar pengaruhnya dengan
jalan memberi bantuan. Pengaruh itu telah diteguhkan pada waktu PM Pham Van
Dong, sekjen partai Komunis Vietnam Le Duan dan wakil menteri pertahanan Letjen
Chu Huy Man, mengunjungi Vientiane. Pada tanggal 18 Juli 1979 telah
ditandatangani Deklarasi Bersama yang berisi antara lain: 1). Persetujuan
militer, maksudnya Laos akan dibela oleh Vietnam dalam menghadapi ancaman dari
luar. Ancaman dari luar ini ditujukan pada Muangthai. Konflik perbatasan antara
kedua Negara ini menjadi semakin meningkat. Di Laos sendiri telah didatangkan
pasukan Vietnam dalam jumlah besar yakni sekitar 50.000 orang. 2). Persetujuan
ekonomi. Hal ini dimaksudkan bahwa Laos mengekspor produksinya tidak lagi
melalui Muangthai tetapi melalui pelabuhan Danang di Vietnam bagian Selatan,
dan diangkut ke Danang melalui darat dengan segala peralatan yang cukup modern.
Selain itu, delapan battalion tenaga pembangunan Vietnam Utara bersama sekitar
3.000 pemuda Laos sedang membangun sebuah jalan raya dari Laos Utara ke delta
sungai Mekong dibawah petunjuk tenaga-tenaga teknisi Uni Soviet. Jalan raya
sepanjang 330 km tersebut akan memanjang melewati lembah Tempayan sebuah daerah
strategis. Semua bahan bangunan didatangkkan dari Uni Soviet. 3). Mengenai
ASEAN. Kedua belah pihak baik Vietnam maupun Laos mengutuk keras usaha-usaha
Amerika Serikat yang mempergunakan ASEAN untuk menentang arus ke arah
kemerdekaan yang sejati, perdamaian serta kenetralan di kawasan Asia Tenggara.
Vietnam dan Laos sepakat bahwa usaha-usaha yang dilakukan para penguasa
Negara-negara anggota ASEAN guna memperkuat persekutuan militer bilateral
dantara mereka dengan papan nama anti komunis, berarti akan mengubah ASEAN
menjadi persekutuan militer secara de facto. Dengan demikian berarti akan
melawan aspirasi rakyat yang menginginkan kemerdekaan sejati.
Hal
ini mengandung bahaya dan akan membuat Asia Tenggara dalam situasi yang tidak
stabil, demikian menurut penilaian Negara-negara sosialis Indo-China.
Pernyataan melalui deklarasi bersama antara Laos dan Vietnam itu jelas ingin
mempengaruhi pendapat yang berkembang dalam konferensi puncak ASEAN di Kuala Lumpur
pada bulan Agustus 1979. Dalam kenyataan, secara materiil memang ada
pengelompokan dua kekuatan di Asia Tenggara yakni ASEAN dan Negara-negara
Indo-China yang dibentengi Vietnam. Vietnam tahu bahwa ASEAN akan membuat
sejarah baru lagi di Kuala Lumpur dan akan mendapat perhatian besar dari dunia
internasional. Oleh karena itu Vietnam telah membuat gerakan dan Isu-isu dengan
suatu harapan agar dapar mempengaruhi pandangan internasional mengenai situasi
Asia Tenggara yang tidak stabil ini dinilai akibat langkah Negara-negara ASEAN
yang didukung oleh Negara-negara besar.
Sehubungan dengan itu, maka ASEAN menilai
perjanjian persahabatan dan kerjasama Vietnam-Laos pada tanggal 18 Juli 1979
itu tidak lain merupakan perjanjian militer dalam rangka melaksanakan prinsip
komunisme yang ingin mengkomunismekan Negara-negara tetangga yang belum
komunis. Sehingga kedudukan Muangthai dalam hal ini sangat terancam. Apalagi
dengan berbagai pernyataan dengan Negara-negara lain bahwa Vietnam akan selalu
mendukung setiap gerakan komunis di Asia Tenggara yang ingin memperoleh
kemerdekaan sejati, perdamaian, dan kehidupan yang demokratis. Pernyataan ini
memberikan kesan bahwa menurut pandangan Indo-China, Negara non- komunis di
Asia Tenggara ini belum mencapai kemerdekaan yang sejati. Tentunya hal ini
sangat bertentangan dengan aspirasi rakyat di masing-masing Negara. Vietnam
menamakan Laos sebagai zone terdepan serta memendang dirinya sendiri sebagai
benteng sosialisme dan perdamaian di Asia Tenggara. Hal ini sebagai suatu indikator
bahwa ada semacam persiapan agresi terhadap Negara-negara tetangga. Kunjungan
delegasi Vietnam ke Laos yang melahirkan persetujuan damai itu, menunjukkan
semakin kuatnya pengaruh rezim Hanoi di kawasan Indo-China. Tetapi bagi rezim
Hanoi yang dibimbing oleh cita-cita Ho Chi Minh, tidak puas sampai di Laos.
Kamboja masih merupakan masalah yang harus di selesaikan. Sebab Kamboja dibawah
kekuasaan Khmer Merah menolak pengaruh Vietnam, bahkan keduanya memiliki
orientasi berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Danusapotro,Prof Mr St
Munadjat.1984.ASTRA JAYA(Asia Tenggara
dalam Jalan Silang Dunia). Jakarta: Binacipta
Groslie,Bernard Phillipe.2007.Indocina Persilangan Budaya.Grafik
Mardi:Bogor
Hall, D.G.E. tanpa
tahun. Terjemahan I.P Soewasha. Sejarah
Asia tenggara. Surabaya: Usaha Nasional
Homzi ,Randy.2010. Sejarah Asia
Tenggara (Sejarah Laos). /sejarah-asia-tenggara-sejarah-laos.html.htm.
diunduh tanggal 28 Pebruari 1012
kbrivientiane laos.2008.perkembangan
terkini laos.tersedia pada www.kbrivientiane.org.
diunduh tanggal 15 Maret 2012
Reid, Anthony.2004.Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia
Wapedia.2010.Islam di Laos.Al Kayyis Center_ Islam di Laos.htmd.htm.diunduh pada
tanggal 28 Pebruari 1012.
Wikipedia.Laos. Laos wiki.htm. diunduh tanggal 28 Pebruari 1012
Wikipedia.2012.Sejarah Asia Tenggara.
Sejarah_Asia_Tenggara.htm. diunduh tangal 28 Pebruari 2012
terimakasih atas informasinya
BalasHapusBAJU MUSLIMAH MODERN
BAJU BATIK UNIK
CONTOH MODEL TERBARU
SOLUSI HP ANDROID
MODEL BAJU BATIK
MODEL KEBAYA MODERN TERBARU
MODEL SEPATU SANDAL BARU
JASA MAKALAH
BELAJAR SEJARAH ISLAM