PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Secara geografis, Indonesia terletak di jalur lalu lintas dunia yaitu berada di
dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia) yang menempatkan peran strategis Indonesia di mata internasional. Di
sepanjang sejarahnya wilayah kepulauan nusantara menjadi pusat perhatian
bangsa-bangsa dari belahan bumi lain. Berdasarkan letak geografis Indonesia
tersebut, menempatkan Indonesia di titik persilangan salah satu jalur lalu
lintas utama dunia yang menghubungkan anak benua India dan sekitarnya dengan
Cina, Eropa, serta Timur Jauh, dunia lama sampai dengan berbagai bagian penting
dari dunia baru. Posisi Indonesia ini ibarat jembatan penting yang
menghantarkan hubungan bangsa-bangsa di belahan bumi Asia dan Australia
(Abdullah, 1977:289). Hubungan ini terjalin sepanjang sejarah, baik dalam waktu
sebelum maupun sesudah tarikh masehi. Kekayaan sumber daya alam Indonesia serta
keramahtamahan penduduknya mengundang pendatang dari berbagai bangsa dan
kalangan pedagang, misi keagamaan, kaum cendikiawan, dan lain sebagainya.
Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar
yang tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua
negeri ini menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu
lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut.
Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat Malaka.
Setelah ditemukannya angin Muson oleh Hippalus, seorang pelaut Yunani padaAwal
abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat yaitu jalur
sutera tetapi beralih ke jalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan
antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan
aktif dalam perdagangan tersebut.
Akibat hubungan dagang
tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan
Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya
budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Masuknya pengaruh budaya India
ke Indonesia, menyebabkan pengaruh yang menentukan jalannya sejarah Indonesia,
yaitu mulai masuknya bangsa Indonesia pada masa sejarah, dengan diketemukannya
bukti prasasti tertulis pertama di Kutai pada abad IV Masehi.
India dikenal sebagai tempat asal serta pusat agama Hindu dan Budha.
Agama ini kemudian masuk ke Indonesia melalui berbagai jalan, hingga diterima
sebagai agama baru. Adanya interaksi dalam penerimaan pengaruh agama baru ini
meyebabkan terjadinya proses sosialisasi, akulturasi, maupun enkulturasi
sehingga mempengaruhi berbagai bidamg kehidupan Indonesia
(Arif,Mangunsudarmo,2008:2). Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai mulai masuknya Indonesia pada zaman sejarah yang diawali dengan
pembahasan secara singkat mengenai garis-garis besar masa pra aksara di
Indonesia, serta situasi social-budaya masa akhir zaman pra aksara di
Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan hubungan Indonesia dengan India dan
Cina, pembahasan mengenai proses masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesai, terkait dengan teori-teori atau hipotesis terhadap hal ini. Serta,
dampak atau pengaruh masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Budha dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu sebagai berikut:
1.2.1
Bagaimanakah hubungan Indonesia dengan India ?
1.2.2
Bagaimanakah sejarah lahirnya agama Hindu dan Budha di
India?
1.2.3
Apa saja dan bagaimanakah teori/hipotesis yang
menjelaskan mengenai masuknya pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia?
1.2.4
Bagaimanakah dampak/pengaruh masuknya agama dan
kebudayaan Hindu Budha terhadap kehidupan masyarakat Indonesia?
1.3 Tujuan Khusus
Secara khusus, makalah ini akan memberikan wawasan
kepada pembaca khusunya mahasiswa tentang:
1.3.1
Hubungan Indonesia dengan India dan Cina.
1.3.2
Sejarah singkat lahirnya agama Hindu dan Budha di India.
1.3.3
Teori-teori/hipotesis masuknya kebudayaan Hindu-Budha
di Indonesia beserta keunggulan maupun kelemahan teori/hipotesis tersebut
ditinjau dari berbagai aspek.
1.3.4
Dampak/ pengaruh masuknya kebudayaan Hindu-Budha dalam
berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Indonesia dengan
India.
Kontak antara masyarakat Nusantara
dengan masyarakat India sebenarnya telah diperkirakan ada sejak
lama, sebelum dikenalnya
tulisan di Indonesia.
Sejak zaman pra aksara, penduduk Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Lautan di sekitar dan di pulau-pulau Indonesia tidak
pernah menjadi penghalang, bahkan menjadi faktor pemersatu. Pada awal sejarah
kuna Indonesia, kita melihat tumbuhnya pusat-pusat perdagangan di beberapa
tempat di pesisir pulau Sumatera dan Jawa. Berdasarkan penelitian pra aksara
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kita dapat mengetahui adanya
peninggalan benda-benda pada masa pra aksara yang mengandung cirri-ciri yang
menunjukkan adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah
di daratan Asia Tenggara. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan bagian dari satu kesatuan daerah lalu lintas barang. J. C.
Van Leur dan O.W Wolters berpendapat bahwa hubungan dagang antara India dan
Indonesia lebih dahulu berkembang daripada hubungan antara Indonesia dengan
Cina (Leur,1955: 90;Wolter, 1967:31). Anggapan
tersebut di atas tidak disertai angka-angka tahun yang pasti, kapan hubungan
itu dimulai. Hal tersebut disebabkan karena sumber-sumber yang memberikan
keterangan jelas tidak ada. Bahan-bahan keterangan yang didapat hanya berupa
buku-buku sastra. Beberapa buku sastra India dan
buku-buku lainnya mengungkapkan keterangan yang samar-samar tentang negeri ini.
Bahan-bahan tersebut berasal dari sekitar abad ke-2 Masehi, yang antara lain
sebagai berikut:
a. Kitab Jataka
Kitab ini ditulis oleh penulis India dan berisi ceritera yang
menggambarkan tentang kehidupan sang Budha. Di dalamnya disebutkan nama-nama
negeri antara lain sebuah negeri bernama Suvannabhumi. Dalam bahasa Indonesia
nama tersebut berarti negeri emas. Dari nama itu ada pula yang menafsirkan
letaknya di sebelah timur teluk Benggala. Lalu kita dapat mengira, apakah nama
Suvannabhumi itu identik dengan nama Suwarnabhumi. Hal itu tidak jelas,
sedangkan orang sering beranggapan, bahwa Suwarnabhumi sama dengan pulau
Sumatera.
b. Kitab
Ramayana
Kitab ini ditulis oleh pujangga India, bernama Walmiki. Isinya
menceritakan tcntang kisah Rama dan Dewi Shinta. Di dalamnya menyebutkan dua
nama tempat, yaitu Jawadwipa dan Suwarnadwipa. Jawadwipa berarti pulau Jawa,
sedangkan Suwarnadwipa berarti pulau
Sumatera.
c. Buku
Perinlous tes
Erythras Thalasses
Buku ini berasal dari penulis Yunani. Isinya pedoman tentang
geografis pe1ayaran di daerah Samudera Hindia. Di antaranya disebutkan salah
satu tempat bernama Chryse. Nama itu
berarti emas, yang sering dihubungkan oleh para penulis sekarang dengan nama
Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa.
d. Buku Geograophike Hypegesis
Penulis buku ini juga seorang bangsa Yunani di Iskandariah
bernama Claudius Ptolomeus. Isi buku tersebut sebuah petunjuk tentang membuat
peta. Di dalamnya ditemukan nama-nama tempat seperti: Argryre Chora (= negeri perak), Chryse
Chora (= negeri emas) dan Chryse
Chersonesos (= semenanjung emas). Selain tempat-tempat tersebut ditemukan
pula dalam buku itu nama labadiou (=
pulau jelai). Para ahli sejarah sering menghubungkan nama labadiou dengan
Jawadwipa, yakni pulau Jawa.
Dari keterangan tersebut di atas, baik
dari para penulis India maupun dari para penulis lainnya, nama-nama tempat di
kawasan bumi belahan ini, ada yang pasti dan ada pula yang samar-samar,
kenyataannya telah terdaftar sebagai catatan geografis. Keterangan itu sudah
barang tentu mereka dapatkan dari para pedagang yang mengadakan pelayaran dan
mereka telah berlayar mengarungi belahan bumi ini. Menurut
sejarahwan Belanda, J.C. Van Leur, barang-barang yang diperdagangkan dalam
pasaran internasional di Asia Tenggara pada waktu itu ialah barang-barang
bernilai. tinggi, seperti: logam mulia (emas dan perak), perhiasan, barang
tenunan, barang pecah belah dan berbagai barang kerajinan, wangi-wangian serta
obat-obatan (Aditio.2010).
2.2
Sejarah Singkat Lahirnya Agama Hindu
dan Budha di India
2.2.1. Sejarah kelahiran Agama Hindu.
Kata Hindu berasal dari kata Hind atau Sind yang
artinya orang yang mendiami wilayah di lembah sungai Indus. Pemberian ini
diberikan oleh bangsa Persia terhadap masyarakat yang tinggal disebelah timur
wilayah mereka. Lahirnya agama Hindu merupakan perjalanan yang sangat panjang
yang diawali dengan terjadinya persaingan antar bangsa di india untuk menguasai
wilayah Punjab yang subur tersebut. Persaingan yang paling utama adalah antara
bangsa Dravida dan bangsa Arya. Selain itu persaingan juga terjadi dengan
bangsa-bangsa yang tinggal di wilayah India seperti bangsa Mongoloid, Wedoid,
Negroid. Diantara ras-ras tersebut maka ras Dravida dan Arya yang paling banyak
memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran-pemikiran dalam agama Hindu
(Suyasa,1995:8).
Kontribusi bangsa Arya bagi agama Hindu sangat besar,
karena Weda merupakan dasar system kepercayaan atau agama bangsa Arya yang
kemudian menjadi kitab suci bagi agama Hindu yang dianut sebagian besar rakyat
India (Suyasa,1995:8). Setelah terjadinya kontak antar bangsa di India yang
memiliki system kepercayaan yang berbeda-beda ini, menyebabkan adanya suatu asimilasi yang
melahirkan Hinduisme tersebut. Dengan latar belakang tersebut Hindu sangat
terbuka terhadap berbagai system kepercayaan masyarakat yang mendapat pengaruh Hindu. Keluesan ini memnyebabkan adanya berbagai
sekte-sekte dalam agama Hindu, sehingga ajaran inti dari agama ini bagaikan
bola salju yang semakin besar dan semakin jauh dari intinya yang semula.
Secara garis besar sejarah perkembangan agama Hindu
dibagi menjadi beberapa periode yang dapat dibagi sebagai berikut:
a.
Zaman lembah Indus
(2000-1500 SM)
b.
Zaman Weda (1500-1000SM)
c.
Zaman Brahman (1000-750SM)
d.
Zaman Upanisad (750-500SM)
e.
Zaman agama Budham(500-300SM)
f.
Zaman Agama Hindu (300SM-Sekarang) (Suyasa,1995:10)
2.2.2. Sejarah Kelahiran Agama Budha.
Budha adalah gelar yang berarti ia telah mendapat
penerangan agung atau yang mendapat bodhi (Suyasa,1995:81). Agama Budha
diajarkan oleh Sidharta Gautama, beliau lahir di kota Kapilavastu dekat Nepal.
Beliau lahir dari pasangan raja Suddhodana dari suku Sakya dan Putri Maya dari
Dewadata. Dalam perjalanan hidup Sidharta dia selalu mendapat kebahagiaan
duniawi dan ketika keluar istana dia melihat hidup secara menderita. Melihat
hal tersebut beliau sedih dan kabur dari istana untuk mencari jawaban atas hal
tersebut, beliau pergi ke pohon Bodhi di Bodh Gaya yang akhirnya beliau
mendapat suatu penerangan. Peristiwa ini terjadi pada 531 SM yang berujung pada
8 ajaran inti Agama Budha yaitu:
1.
Berniat baik.
2.
Berpikir baik.
3.
Berkata-kata yang baik.
4.
Makan-minum yang baik.
5.
Jangan berlebih-lebihan.
6.
Memperhatikan hal-hal yang baik.
7.
Berusaha yang baik.
8.
Bersemedi yang baik.
Kitab suci agama Budha disebut Tripitaka yang artinya 3 keranjang. Agama Budha
mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Raja Ashoka Verdhana dari
kerajaan Maurya. Budha disebarluaskan keluar india seperti Cina, Asia Tenggara
dan keseluruh wilayah jangkauan dagang india pada jaman itu. Penyebaran Budha
dilakukan oleh para Bhiksu memanfaatkan para pedagang-pedagang India.
2.3
Teori-teori/ Hipotesis Masuknya Agama
Dan Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
India adalah
salah satu bagian dari benua di Asia yang telah memiliki peradaban yang tinggi.
Terbukti dengan adanya pusat peradaban tertua yaitu Mohejodarro-Harappa serta lahir
dan berkembangnya agama Hindu dan agama Budha seperti yang sudah dijelaskan
dalam sejarah lahirnya agama Hindu dan Budha pada penjelasan sebelumnya. Pada
permulaan perhitungan tarikh Masehi datanglah dari arah India
gelombang-gelombang pertama orang India ke Indonesia. Peristiwa ini disusul
dengan kejadian-kejadian serupa yang menimbulkan kontak social dan hubungan
kebudayaan dalam arti luas antara pendatang dari India dengan bangsa Indonesia.
Hubungan kebudayaan dan hubungan politik antara India dengan Indonesia
dinamakan pengaruh Hindu di Indonesia atau Indianisasi. Ditinjau dari sudut
kronologi ada dua macam pengaruh India
di Indonesia, yaitu:
a. Pengaruh Hindu Aktif
Pengaruh Hindu aktif adalah suatu
periode tertentu dalam sejarah Indonesia kuno dimana pengaruh Hindu secara
langsung dan aktif ikut membantu perkembangan kebudayaan di Indonesia. Periode
itu dimulai dari abad ke-1 sampai akhir kerajaan Majapahit abad ke-16.
b. Pengaruh Hindu Pasif
Dalam periode ini, pengaruh Hindu tidak
secara langsung mempengaruhi kebudayaan Indonesia, karena kerajaan-kerajaan di
Indonesia yang kena pengaruh Hindu telah lenyap, tetapi unsur-unsur kebudayaan Hindu
masih terdapat di tengah-tengah masyarakat dan masih berpengaruh sebagai salah
satu unsure budaya. Salah satu contoh di Indnesia adalah pulau bali. Periode
ini berlangsung dari abad ke-16 sampai sekarang ini (Asmito,1992:60).
Ada beberapa
hipotesis/teori terkait dengan bagaimanakah proses masuk dan berkembangnya
agama dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Hipotesis ini dibgai menjadi 2
kelompok besar, yaitu dari sudut pandang Indonesia bersikap pasif dan Indonesia
bersikap aktif. Penjelasan dari masing-masing hipotesis adalah sebagai berikut.
2.3.1. Indonesia Bersikap Pasif (Teori
Kolonialisasi)
Teori dalam sudut padanng bangsa
Indonesia bersikap pasif, berarti pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Budha
diterima langsung oleh bangsa asing ke Indonesia. Adapun hipotesis dalam sudut
pandang pasif (kolonialisasi) dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Teori Brahmana dikemukakan oleh J.C. Van
Leur.
Van Leur berpendapat bahwa kaum pendetalah
yang menjadi penyebar agama Hindu di Indonesia. Penyebaran agama Hindu
dilakukan oleh kaum Brahmana karena kaum brahmana yang menguasai ajaran
keagamaan, teori ini memang paling mudah diterima. Meskipun teori ini mudah diterima tetapi
faktor pendukung dan kelemehan-kelemahan dari teori ini yaitu:
Faktor pendukung teori tersebut:
1.
Agama Hindu adalah milik kaum
Brahmana sehingga merekalah yang paling tahu dan paham mengenai ajaran agama Hindu.
Urusan keagamaan merupakan monopoli kaum Brahmana bahkan kekuasaan terbesar
dipegang oleh kaum Brahmana sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan
mampu menyiarkan agama Hindu.
2.
Prasasti Indonesia yang pertama
menggunakan bahasa Sansekerta, sedangkan di India sendiri bahasa itu hanya
digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan. Bahasa Sansekerta adalah
bahasa kelas tinggi sehingga tidak semua orang dapat membaca dan menulis bahasa
Sansekerta. Di India hanya kasta Brahmana yang menguasai bahasa Sansekerta
sehingga hanya kaum Brahmana-lah yang dapat dan boleh membaca kitab suci Weda.
3.
Karena kepala suku yang ada di
Indonesia kedudukannya ingin diakui dan kuat seperti raja-raja di India maka
mereka dengan sengaja mendatangkan kaum Brahmana dari India untuk mengadakan
upacara penobatan dan mengesahkan kedudukan kepala suku di Indonesia menjadi
raja. Dan mulailah dikenal istilah kerajaan. Karena upacara penobatan tersebut
secara Hindu maka secara otomatis rajanya juga dinyatakan beragama Hindu, jika
raja beragama Hindu maka rakyatnya pun akan ikut beragama Hindu sehingga agama Hindu
menjadi agama Negara.
4.
Ketika menobatkan raja, kaum
Brahmana pasti membawa kitab Weda ke Indonesia. Sebelum kembali ke India tidak
jarang para Brahmana tersebut akan meniggalkan Kitab Weda-nya sebagai hadiah
bagi sang raja. Kitab tersebut selanjutnya akan dipelajari oleh sang raja dan
digunakan untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia.
5.
Karena raja telah mengenal
Brahmana maka secara khusus raja juga meminta Brahmana untuk mengajar di
lingkungan istananya. Dari hal inilah maka agama dan budaya India dapat
berkembang di Indonesia.
6.
Sejak itu mulailah secara khusus
para kepala suku yang lain yang tertarik terhadap budaya dan ajaran Hindu,
sehingga mereka mengundang kaum Brahmana untuk datang dan mengajarkan agama dan
budaya India kepada masyarakat Indonesia.
7.
Teori ini didukung dengan adanya
bukti bahwa terdapat koloni India di Malaysia dan pantai Timur Sumatera
(populer dengan nama Kampung Keling) yang banyak ditempati oleh orang Keling
dari India Selatan yang memerlukan kaum Brahmana untuk upacara agama seperti
perkawinan dan kematian.
Kelemahan dari teori ini
diantaranya:
1.
Mempelajari bahasa Sansekerta
merupakan hal yang sangat sulit jadi tidak mungkin dilakukan oleh raja-raja di
Indonesia yang telah mendapat kitab Weda untuk mengetahui isinya bahkan
menyebarkan pada yang lain. Sehingga pasti memerlukan bimbingan kaum Brahmana.
2.
Menurut ajaran Hindu kuno seorang
Brahmana dilarang untuk menyeberangi lautan apalagi meninggalkan tanah airnya.
Jika ia melakukan hal tersebut maka ia akan kehilangan hak akan kastanya.
Sehingga mendatangkan para Brahmana ke Indonesia bukan merupakan hal yang
wajar.
b) Teori Ksatria dikemukakan oleh FDK
Bosch dan NJ.Krom.
Menurut
teori Ksatri yang dikemukakan oleh FDK Bosch dan Krom beranggapan bahwa pada waktu itu terjadi
perang besar di India, kaum ksatria yang kalah di India kemudian banyak yang
melarikan diri ke luar India, salah satunya ada yang sampai di kepulauan
Indonesia dan mendirikan kerajaan Hindu-Budha. Dari ibukota kerajaan-kerajaan
baru ini pengaruh Hindu-Budha disebarkan ke masyarakat. Argumentasi ini
dilandasi oleh pemikiran, nama raja-raja Nusantara memakai nama India. Misalnya
Mulawarman, Purnawarman, Adityawarman dan sebagainya. Melihat nama ini pastilah
ia orang (ksatriya) India dari Kalingga. Demikian misalnya, nama Kerajaan
Holing dalam berita Cina disamakan dengan Keling dalam bahasa Indonesia. Nama
Keling ini dikaitkan dengan pelarian bangsa Kalingga ke luar India dan berhasil
mendirikan kerajaan baru yang disebut
Keling singkatan dari Kalingga. Kenyataan sampai sekarang daerah
Indonesia bagian barat masih dikenal keberadaan kampung Keling, tetapi tidak
sama dengan kerajaan Holing yang ditranslit Keling singkatan dari Kalingga. Sebab
Holing yang dimaksud dalam berita Cina tidak lain adalah kerajaan Mataram di
Jawa Tengah dibawah Dinasti Saelendra. Teori ini mendapat tantangan keras dari
para ahli Indonesia, karena teori ini sangat merendahkan martabat Bangsa
Indonesia, yang seolah-olah bangsa Indonesia sangat bodoh, tidak bisa
memerintah sendiri, karena rajanya didatangkan dari India.
Faktor yang memperkuat teori ini:
1.
Raja dan bagsawan serta ksatria
dari India yang kalah perang meninggalkan daerahnya menuju ke daerah lain
termasuk Indonesia. Mereka berusaha menaklukkan daerah baru dan membentuk
pemerintahan baru seperti ketika mereka di India. Dari situ mereka mulai
menanamkan ajaran agama Hindu pada penduduk setempat.
2.
Kekacauan politik di India
menyebabkan para ksatria melarikan diri sampai di Indonesia dan sesampainya di
Indonesia mereka membentuk dan mendirikan koloni dan mulaia menyebarkan agama Hindu.
3.
Adapula raja dan para bangsawan
India yang datang ke Indonesia sengaja untuk menyerang dan menaklukkan
suku-suku di Indonesia. Setelah mereka berhasil akan mendirikan kerajaan dan
mulai menyebarkan agama Hindu.
4.
Teori Ksatria sering juga disebut
dengan teori Kolonisasi . Hal ini disebabkan karena dilakukan penyerbuan dan
penklukkan terhadap penduduk pribumi.
Kelemahan,sanggahan atau bantahan
terhadap teori ini :
1
Tidak mungkin pelarian ksatria
dari India bisa mendapatkan kedudukan mulia sebagai raja di wilayah lain,
sedangkan di Indonesia masa itu,seseorang dapat menjadi pemimpin suatu wilayah
karena dia dirasa mempunyai kemampuan lebih daripada yang lainnya. Tidak
mungkin rakyat menginginkan orang yang telah mengalahkan rakyat di wilayah itu
untuk menjadi raja mereka karena mereka pasti harus hidup dalam tekanan dari
orang yang tidak mereka kenal.
2
Serbuan bangsa India terhadap
Indonesia hanya terjadi 2 kali dalam waktu singkat oleh kerajaan Colamandala
(raja Rajendra Coaldewa) atas kerajaan Sriwijaya yaitu pada tahun 1023 M dan
1030 M. Meskipun berhasil menawan raja Sriwijaya tetapi serangan tersebut
berhasil dipatahkan/dikalahkan.
3
Tidak ada bukti yang kuat baik
itu di Indonesia maupun di India bahwa penyerbuan yang dilakukan bertujuan
untuk menyebarkan agama Hindu. Selain itu tidak ada bukti pendudukan atas
beberapa daerah di Indonesia
oleh bangsa India
yang bertujuan untuk menyebarkan agama. Padahal suatu penaklukkan pasti akan
dicatat sebagai sebuah kemenangan.
4
Jika terjadi kolonisasi atau
penaklukkan pasti akan disertai dengan pemindahan segala aspek atau unsur
budaya masyarakat India secara murni di Indonesia seperti sistem kasta, tatakota,
pergaulan, bahasa, dsb. Tetapi kehidupan masyarakat di Indonesia tidak menunjukkan hal yang sama persis
(tidak asli) dengan kehidupan masyarakat India
dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi penguasaan secara mendasar pada
segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia
memiliki peran yang besar dalam proses pembentukan budaya India-Indonesia
sehingga yang tampak adalah bentuk akulturasi budayanya.
c) Teori Waisya dikemukakan oleh
NJ.Krom.
NJ.Krom berpendapat bahwa masuknya agama Hindu
ke Indonesia dibawa oleh
orang India
berkasta Waisya yaitu golongan pedagang. Mereka datang dan berperan sebagai
penyebar agama Hindu ke Indonesia.Seperti bangsa Gujarat
yang menjadi pedagang pada zaman Islam atau bangsa Barat pada zaman modern.
Faktor yang memperkuat teori ini
yaitu:
1.
Teori ini mudah diterima oleh
akal sebab dalam kehidupan, faktor ekonomi menjadi sangat penting dan
perdagangan merupakan salah satu bentuk dalam kegiatan berekonomi. Sehingga
melalui kegiatan perdagangan dirasa akan lebih mudah untuk berhubungan dengan
orang dari berbagai daerah.
2.
Para pedagang dari India akan
sampai ke Indonesia untuk berdagang. Masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia di bawa oleh para pedagang India yang singgah dan berasimilasi dengan
penduduk sekitar/setempat di Indonesia.
3.
Ketika para pedagang tersebut
singgah di Indonesia ada yang kemudian tertarik dengan penduduk setempat dan
memutuskan untuk menikah dengan wanita setempat atau bahkan tinggal menetap dan
berketurunan. Dari situlah agama Hindu disebarkan.
4.
Adanya bukti yang menunjukkan
bahwa terdapat perkampungan para pedagang India di Indonesia yang disebut
Kampung Keling yang terletak di beberapa daerah di Indonesia bagian Barat
(Sumatera)
Kelemahan, sanggahan atau bantahan
terhadp teori ini :
1.
Hubungan yang terbentuk antara
penduduk setempat bahkan pada raja dengan para saudagar (pedagang India) hanya
seputar perdagangan sehingga tidak akan membawa perubahan besar terhadap
penyebaran agama Hindu.
2.
Meskipun ada perkampungan para
pedagang India di Indonesia tetapi kedudukan mereka tidak berbeda dengan rakyat
biasa di tempat itu, mereka yang tinggal menetap sebagaian besar hanyalah
pedagang-pedagang keliling sehingga kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda
dengan penduduk setempat. Sehingga pengaruh budaya yang mereka bawa tidaklah
membawa perubahan besar dalam tatanegara dan kehidupan keagamaan masyarakat
setempat.
3.
Mereka lebih banyak menetap di
daerah pantai untuk memudahkan kegiatan perdagangannya. Mereka datang ke Indonesia untuk
berdagang dan jika mereka singgah mungkin hanya sekedar mencari perbekalan
untuk perjalanan mereka selanjutnya atau untuk menunggu angin yang baik yang
akan membawa mereka melanjutkan perjalanan. Sementara itu kerajaan Hindu di
Indonesia lebih banyak terletak di daerah pedalaman seperti Pulau Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan. Sehingga,
penyebarluasan agama Hindu tidak mungkin dilakukan oleh kaum Waisya yang
menjadi pedagang.
4.
Kaum Waisya tidak mempunyai tugas
untuk menyebarkan agama sebab yang bertugas menyebarkan agama Hindu adalah
Brahmana.
5.
Golongan Waisya kurang memahami
bahasa Sansekerta serta mereka tidak menguasai pengetahuan keagamaan yang
mendalam seperti upacara keagamaan serta ajaran agama dalam kitab Weda.
6.
Kitab Weda hanya boleh dibaca dan
diajarkan oleh kaum Brahmana, oleh karena itu kasta lain tidak mungkin dapat
menyebarkan ajaran agama Hindu.
7.
Tulisan dalam prasasti dan
bangunan dalam agama Hindu yang ditemukan di Indonesia berasal dari bahasa
Sansekerta yang hanya digunakan oleh Kaum Brahmana dalam kitab-kitab Weda dan
upacara keagamaan.
d) Teori Sudra
Teori
ini dikemukakan oleh Van Feber, ia mengemukakan bahwa penyebaran agama Hindu ke
Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra.
Faktor yang memperkuat teori ini
diantaranya:
1.
Orang India berkasta Sudra
(pekerja kasar) menginginkan kehidupan yang lebih baik daripada mereka tinggal
menetap di India sebagai pekerja kasar bahkan tidak jarang mereka dijadikan
sebagai budak para majikan.
2.
Orang berkasta sudra tidak jarang
dianggap sebagai orang buangan karena posisinya berada pada kasta terendah di
India. Sehingga mereka meniggalkan daerahnya pergi ke daerah lain bahkan keluar
dari India
agar kedudukan mereka dapat lebih baik dan dihargai.
Kelemahan, sanggahan atau
bantahan teori ini yaitu:
1.
Golongan Sudra tidak mengetahui
seluk beluk mengenai ajaran agama Hindu.
2.
Golongan Sudra tidak dapat
membaca kitab suci Weda (dalam kitab suci ini terdapat semua ajaran dan aturan
mengenai agama Hindu) sebab tidak sembarang orang dapat menyentuhnya,
membaca dan mengetahui isinya. Lagipula, bahasa yang digunakan dalam kitab suci
Weda adalah bahasa Sansekerta.
3.
Golongan Sudra tidak
menguasai bahasa Sansekerta sebab bahasa sansekerta merupakan bahasa kelas
tinggi yang hanya mampu dikuasai oleh para pendeta.
4.
Tujuan utama golongan Sudra
meninggalkan India adalah untuk mendapat penghidupan yang lebih baik/
memperbaiki keadaan mereka. Sehingga jika mereka dikatakan yang menyebarkan
agama Hindu yang merupakan milik kaum brahmana di India rasanya
tidak mungkin. Dalam sistem kasta saja posisi mereka sudah yang paling rendah,
mereka sudah dibuang dan diperlakukan kurang baik oleh kasta diatasnya, mana
mungkin mereka mau mengembangkan ajaran yang akan merendahkan posisinya dan
mengagungkan posisi kasta lain.
Jadi
hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya budaya Hindu ke
Indonesia. Beberapa hipotesis di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu
merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh
proses perdagangan.
Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat gambar peta jaringan perdagangan
laut Asia Tenggara berikut ini:
Pada dasarnya keempat teori tersebut
memiliki kelemahan yaitu karena golongan Ksatria, Waisya, dan Sudra tidak
mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra
tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun
menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot atau kuno
tidak boleh menyebrangi lautan. Disamping pendapat atau hipotesa tersebut di
atas, terdapat pendapat yang lebih menekankan pada peranan Bangsa Indonesia
sendiri.
e. Hipotesis Arus Balik
Hipotesis Arus Balik dikemukakan oleh
F.D.K. Bosh, Hipotesis ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran
kebudayaan Hindu di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia
dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam
melakukan proses penyebaran kebudayaan Hindu dalam empat tahap yaitu sebagai
berikut:
·
Pertama, proses penyebaran dilakukan oleh golongan
Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang yang
dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu
bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan,
ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastoma
atau penyucian diri untuk mengHindukan seseorang
·
Kedua,, para
Brahmana datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu. Tetapi sebenarnya
dalam ajaran agama Hindu, seorang Brahmana tidak dibebankan pada kewajiban
untuk menyebarkan agama Hindu. Jadi kemungkinan mereka datang ke Indonesia
awalnya tidak secara sengaja untuk menyebarkan agama Hindu, mungkin mereka
sekedar ingin mengetahui daerah lain atau ikut para pedagang. Ketika para
Brahmana mengunjungi suatu daerah dan jika perkembangannya kepala wilayah
(kepala suku) itu suka atau tertarik dengan kebiasaan atau bahkan ajaran agama
sang Brahmana yaitu agama Hindu, maka pendeta tersebut akan melakukan upacara
Vratyastoma untuk meresmikan penduduk Indonesia tersebut sebagai seorang Hindu
dan anggota kasta dengan pertimbangan kedudukan social atau derajat yang
bersangkutan. Dalam Dasar agama Hindu, seseorang tidak dapat menjadi Hindu
tetapi dilahirkan sebagai Hindu. Jadi jika ada orang Indonesia yang ingin
beragama Hindu maka akan mendatangkan para pendeta dari India untuk meng-Hindu-kan
orang Indonesia. Lama kelamaan para Brahmana tersebut memiliki kedudukan
terhormat bahkan menjadi orang kepercayaan mereka menjadi penasehat penguasa
bukan hanya dalam keagamaan tetapi juga pemerintahan, peradilan,
perundang-undangan, dsb. Para pendeta yang datang dari India tersebut tidak
bisa langsung menyebarkan agama Hindu sebab setelah menyebrangi lautan mereka
akan kehilangan hak atas kastananya, maka mereka harus mengadakan upacara untuk
pengembalian kastanya. Baru kemudian mereka bisa mengadakan berbagai upacara
seperti Abhiseka, (upacara untuk mentahbiskan seseorang menjadi raja),
Wratyastoma (upacara untuk memberi kasta kepada orang bukan Hindu menjadi keluarga
masyarakat Hindu)
·
Ketiga
perkembangan selanjutnya, karena raja semakin mempunyai ikatan yang erat dengan
pendeta India maka dia akan mengirim utusan atau bahkan anaknya untuk
mengetahui budaya dan ajaran agama Hindu langsung dari negara asalnya yaitu India
secara lebih mendalam. Setelah mereka mengetahui lebih lanjut dan kembali ke
tanah air maka mereka akan menceritakan, mengajarkan, dan menyebarkan ajaran
dan kebudayaan yang mereka dapat dari India. Dari sana agama Hindu mulai
berkembang di masyarakat. Terlebih jika seorang raja telah beragama Hindu maka
rakyatnya akan ikut untuk menganut agama Hindu.
Nenek moyang kita dengan
mudah dapat menerima agama Hindu ke dalam kepercayaan mereka karena adanya
unsur-unsur persamaan antara agama Hindu dengan kepercayaan mereka yang asli.
Adapun unsur-unsur persamaan adalah :
a) Agama
Hindu memuja para dewa, sedangkan kepercayaan nenek moyang kita memuja roh para
leluhur
b) Tempat
pemujaan agama Hindu adalah lingga, candid an arca sedangkan tempat pemujaan
nenek moyang kita berupa menhir, punden berundak dan patung.
c) Upacara
agama Hindu dipimpin oleh kaum brahmana, upacara nenek moyang kita dipimpin
oleh dukun.
Walaupun agama Hindu sudah
diterima sepenuhnya oleh nenek moyang kita, kepercayaan nenek moyang kita yang
asli tidak di tinggalkan. Kepercayaan mereka yang asli berupa pemujaan roh
leluhur tetap dilaksanakan bersamaan dengan pemujaan para dewa sesuai dengan
ajaran agama Hindu. Begitu pula kepercayaan mereka terhadap benda-benda keramat
dan magis masih tetap ada.
·
Keempat, perkembangan
selanjutnya, karena raja semakin mempunyai ikatan yang erat dengan pendeta India maka dia akan mengirim utusan atau bahkan
anaknya untuk mengetahui budaya dan ajaran agama Hindu langsung dari negara
asalnya yaitu India
secara lebih mendalam. Setelah mereka mengetahui lebih lanjut dan kembali ke
tanah air maka mereka akan menceritakan, mengajarkan, dan menyebarkan ajaran
dan kebudayaan yang mereka dapat dari India. Dari sana agama Hindu mulai berkembang di
masyarakat. Terlebih jika seorang raja telah beragama Hindu maka rakyatnya akan
ikut untuk menganut agama Hindu.
Dengan masuknya agama Hindu
ke Nusantara, maka masuk pulalah kebudayaan india, khususnya kebudayaan
pendukung pelaksanaan ajaran agama yang disebut budaya agama. Budaya agama yang
datang dari india tersebut tidak begitu saja diterima dan diterapkan oleh nenek
moyang kita. Budaya agama tersebut diselaraskan dengan sendi-sendi budaya yang
telah mereka miliki. Pertemuan budaya india dengan budaya asli tersebut
menimbulkan proses akulturasi yang menyebabkan terbentuknya kebudayaan baru.
Dalam proses akulturasi itu factor local
geneus (yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima suatu kebudayaan asing
dengan mengolah unsure-unsur kebudayaan tersebut disesuaikan dengan kepribadian
bangsa itu sendiri) dari bangsa Nusantara berperan penting dalam pembentukan
kebudayaan yang baru itu. Dalam proses ini kbudayaan asli tidak lenyap,
melainkan terserap masuk kedalam kebudayaan baru itu. Dengan demikian budaya
agama Hindu Nusantara tidak sama dengan budaya agama Hindu di Indonesia.
Beberapa kepala suku yang
telah menerima agama dan budaya agama Hindu ingin mengatur masyarakat seperti
susunan masyarakat India. Ia tidak lagi menggunakan gelar kepala suku melainkan
menggunakan gelar raja. Untuk memperluas kekuasaannya ia terlalu mempersatukan
suku-suku yang ada disekitarnya. Kalau kekuasaannya sudah besar maka ia
mengangkat diri sebagai maharaja.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini
dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada
abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan
mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa
itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
"Vaprakeswara". Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan
pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia,
perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang
Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur
kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu
juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah
prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebon kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara
Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan
memakai huruf Pallawa. Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang
menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu,
Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan
tapak kaki Dewa Wisnu". Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah
adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan
dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa
Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula
di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe
lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut
Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi:
"Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa
Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti. Adanya kelompok Candi
Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8
Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan
pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di
Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang
berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang
pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760
Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta
dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai
peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 929-947
munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa,
yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian
sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah
Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah
penganut Hindu yang setia. Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah
kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa
kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana,
Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian
muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini
didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan keHinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada
akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit,
sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu
terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama. Selanjutnya
agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya
prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu,
Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang
berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian
lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali.
Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan
Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang
hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan
Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat
dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti
di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah
pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti. Perkembangan agama
Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir
abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan
pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan
dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa
beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur.
2.4
Pengaruh
Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu Budha terhadap Kehidupan Masyarakat
Indonesia
Masuknya agama dan kebudayaan
Hindu-Budha ke Indonesia, selain membawa perubahan pada system kepercayaan
bangsa Indonesia, ternyata membawa perubahan pula pada bidang kehidupan
masyarakat lainnya. Masuknya unsur-unsur budaya Hindu Budha dari India telah
mengubah dan menambah khasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan
seperti :
- Bidang Agama
Sebelum
mendapat pengaruh agama-agama dari India, penduduk nusantara telah memiliki
kepercayaan :
- Animisme : Keyakinan
adanya berbagai roh yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya.
Tingkatan tinggi dari animisme adalah pemujaan kepada roh para leluhur.
- Dinamisme : Kepercayaan
tentang adanya kekuatan gaib yang luar biasa pada benda-benda tertentu :
rambut, kepala, batu, dan lain-lain.
- Totemisme : Kepercayaan
kepada binatang sebagai lambang nenek moyang.
- Animatisme : Kepercayaan
bahwa benda atau pohon tertentu berjiwa dan berfikir seperti manusia :
keris, pohon beringin, dan lain-lain.
- Fetisisme : Kepercayaan
adanya jiwa dalam benda-benda tertentu.
Dengan masuknya budaya India,
penduduk nusantara secara berangsur-angsur memeluk agama Hindu dan Budha
diawali oleh lapisan elit para datu dan keluarganya. Walaupun demikian, lapisan
bawah terutama di pedesaan masih banyak yang tetap menganut kepercayaan asli
berupa pemujaan kepada nenek moyang. Dalam perkembangan, agama Hindu-Budha
berpadu menjadi agama Siwa Budha. Bahkan agama campuran ini masih diwarnai
dengan kepercayaan-kepercayaan asli nusantara.
- Bidang Pemerintahan
1.
Munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha seperti
Kutai, Tarumanegara, Mataram, Majapahit dan Sriwijaya.
2.
Munculnya system kemaharajaan sehingga seorang pemimpin tidak
dipilih dengan demokratis melainkan turun-temurun atau menggunakan system
dinasti.
3.
Pada puncak pemerintahan, atau pucuk sistem masyarakat
sebelum datangnya budaya pengaruh India terdapat para pemimpin : Ketua Suku,
Ketua adat, dengan gelar Datu atau Datuk, Ratu dan Raka. Sejak datangnya
pengaruh budaya India, para Datu atau Ratu berganti gelar Raja atau Maharaja.
Meskipun posisi tidak berubah tetap sebagai pucuk pimpinan dalam pemerintahan.
Dengan adanya sistem kasta, para dukun atau ahli nujum, yang menjadi penasehat
Datu atau Ratu, meskipun bergelar Brahmana, posisi tetap di bawah raja, rakyat
merdeka tetap sebagai waisya, dan para budak tetap sebagai kaum sudra.
c.
Bidang Sosial
-
Masa Kerajaan-Kerajaan Hindu
Sistem masyarakat di nusantara sebelum kedatangan pengaruh budaya India,
diatur dan dibedakan berdasarkan profesi yaitu petani, perajin, peramu, dan
lain-lain. Dengan masuknya pengaruh budaya India sistem masyarakat ditata
berdasarkan sistem kasta :
·
Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi dalam struktur sosial masyarakat Hindu. Kasta
ini terdiri dari para pendeta yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan, selain itu memberi petunjuk dan nasihat kepada
seluruh lapisan masyarakat, mulai dari raja, bangsawan, pedagang, sampai masyarakat
biasa.
·
Kasta Ksatria merupakan kasta yang bertugas menjaga keamanan
Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kasta ini terdiri dari
para raja dan prajurit. Raja dianggap sebagai keturunan dewa dan atas perintah
dewa raja tersebut berkuasa diwilayahnya (Kultus Dewa Raja).
·
Kasta Waisya merupakan kasta bagi golongan pedagang dan
petani. Golongan ini merupakan komponen yang sangat penting dalam masyarakat,
karena petani bertugas menghasilkan bahan makanan dan pedagang yang memasarkan
hasil produksi tersebut. Tanpa kehadiran komponen ini kebutuhan bahan makanan
tidak dapat terpenuhi.
·
Kasta Sudra merupakan kasta yang memiliki kedudukan paling
rendah. Hal ini diakibatkan orang-orang yang termasuk kedalam golongan ini
tidak memiliki harta atau kekayaan yang cukup untuk menopng hidupnya dan
merupakan mereka hanya mempunyai tenaga saja. Golongan ini umumnya bekerja pada
golongan-golongan di atasnya, sebagai pembantu atau tukang. Dalam pelaksanaan
sistem masyarakat di Indonesia tidak dilakukan pembedaan secara ketat.
·
Selain empat Kasta di atas, ada kasta yang tidak diterima
oleh masyarakat karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan adat-adat yang ada
di dalam masyarakat, kasta ini disebut Paria.
-
Masa Kerajaan -Kerajaan Budha
Struktur sosial dalam masyarakat yang mendapat pengaruh agama Budha
berbeda dengan agama Hindu, yaitu masyarakatnya tidak mengenal sistem kasta.
Pada masyarakat ini kedudukan seseorang ditentukan oleh usahanya sendiri,
bahakan siapa saja dapat memiliki kedudukan yang diinginkannya. Meskipun
demikian, secara umum masyarakat ini dapat kita bagi ke dalam 2 golongan
yaitu:
·
Bhiksu dan Bhiksuni
Bhiksu dan Bhiksuni adalah pemeluk agama Budha yang
telah berhasil meninggalkan sifat keduniawiannya dan telah menempati tempat
tersendiri, yaitu biara. Para bhiksu (laki-laki) dan bhiksuni (perempuan) harus
menaati aturan-aturan yang telah ditentukan dalam biara, mereka tidak bisa
bebas sebagaimana masyarakat umum.
·
Upasaka-Upasika
Adalah masyarkat Budha yang tingkatannya masih seperti
masyarakat kebanyakan. Mereka tidak begitu terikat dengan aturan-aturan seperti
para Bhiksu dan Bhiksuni. Mereka adalah masyarakat awam yang belum banyak memperoleh
atau memahami tentang ajaran agama Budha.
- Bidang
Kesenian
Masuknya Hindu dan Budha memiliki andil yang sangat besar bagi
perkembangan kesenian di Indonesia, baik itu seni pahat, seni bangunan maupun
senin sastra. Perkembangan seni bangunan ditandai dengan berdirinya bangunan
candi, seperti candi prambanan dan Borobudur. Dua bangunan megah ini merupakan
bukti nyata kemajuan di bidang seni bangunan.
Sementara seni pahat/ukir dapat dilihat pada relief candi Borobudur
maupun prambanan. Ternyata gambar relief yang ada pada candi tersebut memiliki
arti dan makna tersendiri. Adapun pengaruhnya di bidang sastra berkembang pesat
pada zaman Kediri dan Majapahit. Banyak di buku-buku sastra yang ditulis para
pujangga baik di Kediri maupun di Majapahit.
- Di Bidang Bahasa dan
Tulisan
Sejak masuknya agama Hindu
dan Budha di Indonesia, bahasa sansekerta dan huruf palawa mulai digunakan
dalam penulisan prasasti dan kitab sastra, misalnya : prasasti kutai,
prasasti tugu, prasasti kebun kopi,
prasasti canggal, dan lain-lain. Dalam perkembangannya bahasa Sansekerta dan
huruf Palawa mengalami akulturasi dengan bahasa dan huruf jawa sehingga
munculah bahasa jawa kuno dan huruf Jawa Kuno. Karya-karya sastra dari India
seperti Ramayana dan Mahabaratha banyak mempengaruhi karya-karya pujangga di
Nusantara. Karya-karya sastra yang muncul dengan pengaruh India antara lain:
·
Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa
·
Sutasoma, karya Mpu Tantular
·
Negarakertagama, karya Mpu Prapanca
- Bidang
Teknologi
Kemampuan masyarakat pada masa Hindu dan Budha di bidang teknologi telah
menghasilkan beberapa peninggalan yang sangat membanggakan. Bukti-bukti yang
masih dapat kita saksikan adalah peninggalan candi Borobudur, Prambanan dan
lain-lain. Pembangunan Borobudur dan Prambanan sulit terwujud bila tidak didukung
kemampuan yang tinggi bidang teknologi.
Arca, relief dan ukiran batu bisa tertata rapi dan urut serta serasi
memerlukan keahlian tersendiri. Selain candi, bukti-bukti kemajuan bidang
teknologi masyarakat masa Hindu adalah kemahiran membuat wayang dan system
irigasi. Peninggalan-peninggalan tersebut menunjukan bahwa masyarakat masa Hindu
telah memiliki kemampuan di bidang teknologi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan.
Pada awal abad masehi ini
mulai adanya hubungan perdagangan dengan India, yaitu pusat peradaban pada masa
itu. Maka mulailah adanya kontak sosial yang menyebabkan terjalinnya hubungan
social-budaya pada masayarakat Indoensia. Dari letak geografis Indonesia
tersebut menyebabkan Indonesia terletak di jalur perdagangan yang menimbulkan
hubungan dagang antara Indonesia dengan India yang berpengaruh besar terhadap
masuknya budaya Hindu-Budha ke Indonesia. Dari teori pengaruh tersebut
menimbulkan beberapa teori dari sejarawan dan teori tersebut dikenal dengan
teori Brahmana, Teori Ksatria, Teori Waisya dan Teori Sudra.
Selain teori yang
disebutkan diatas, terdapat juga teori arus balik dan Hipotesis. Teori ini
mendasarkan bahwa Indonesia juga ikut serta aktif dalam melakukan ekspansi atau
pelayaran keluar benua. Ini dapat dibuktikan dengan penemuan perahu bercadik di
Malagasi Afrika Timur, relief candi, bentuk dan fungsi candi serta dengan
adanya sebuah penemuan prasasti Nalanda (860 Masehi) di India (Nalanda),
Masuknya unsur-unsur
budaya Hindu Budha dari India telah mengubah dan menambah khasanah budaya
Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan seperti : bidang agama, bidang
pemerintahan, bidang sosial, bidang kesenian, bidang bahasa dan tulisan, bidang
pendidikan dan bidang teknologi. Kemampuan masyarakat pada masa Hindu dan Budha
di bidang teknologi telah menghasilkan beberapa peninggalan yang sangat
membanggakan. Bukti-bukti yang masih dapat kita saksikan adalah peninggalan
candi Borobudur, Prambanan dan lain-lain. Pembangunan Borobudur dan Prambanan
sulit terwujud bila tidak didukung kemampuan yang tinggi bidang teknologi.