BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penduduk Bali
Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (pedalaman)
Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali Mula “
yaitu orang-orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini
mandahului penduduk Bali Pedataran ( Bali Majapahit ). Orang-orang yang
termasuk kedalam kelompok Bali Aga merupakan kelompok orang yang telah memiliki
kebudayaan yang cukup ber-nilai tinggi. Beberapa peninggalan yang masih dapat
ditemukan sampai sekarang memperlihatkan cirri-ciri yang berbeda dengan
kebudayaan belakangan yaitu kebudayaan yang dibawa oleh orang - orang Bali
Pedataran (Bali Majapahit). Ciri-ciri pokok yang menonjol dalam masyarakat Bali
Aga meliputi pola kehidupan, pola kemasyarakatan dan pola pemujaan terhadap roh
nenek moyang.
Pola kehidupan
yang sangat nyata pada kehidupan masyarakat Bali Aga, menampakkan corak komunal
yaitu suatu ciri yang menekankan bentuk kehidupan dalam situasi
kebersamaan. Corak kebersamaan nampak dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang
dilakukan secara gotong royong baik dalam situasi suka atau situasi duka. Ciri
kehidupan gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga tersebut secara
implisit merupakan corak kehidupan asli kehidupan masyarakat Indonesia.
Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari
desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Yang dimaksud dengan desa Bali
Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya
mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.
Bentuk dan luas bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga
letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun tetap dipertahankan.
Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata
"tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti
"bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan
dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah
pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur
(Bukit Kangin). Secara administratif desa Tenganan terbagi dalam lima banjar
dinas, yakni Dauh Tukad, Pegringsingan,
Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Pegringsingan dan Dauh
Tukad, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam budaya.
Desa Adat Tenganan
Dauh Tukad memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh
menjadi Desa Wisata dengan lingkungan desa yang asri, tradisional dan
eksotik. Salah satu atraksi sakral yang dimiliki adalah Megeret Pandan (Perang Pandan), Metekrok, Tuun Medaa dan Meteruna setiap pelaksanaan Aci Usabha
Sambah tepat pada Sasih Kelima menurut perhitungan wariga setempat,
selain itu Desa Tenganan Dauh Tukad ini memiliki tradisi unik
dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat
mesabat-sabatan biu (perang buah pisang).
Sebagaimana
diketahui prosesi upacara Megeret
Pandan, Nulak Damar, Daa Teruna Nyambah, Metekrok, Anyunan
adalah teradisi ini merupakan budaya ritual aliran Indra atau bisa disebut
tradisi pra Hindhu Majapahit yang ada di Desa Bali Aga Tenganan Pagringsingan,
namun di Desa Tenganan Dauh Tukad budaya itu juga ada yang menyatu dan
bercampur dengan budaya adat setempat yang dominan beraliran ciwa (tradisi
Hindhu Majapahit). Desa Adat Tenganan Dauh Tukad juga memiliki teradisi yang
tidak ada di Desa Tenganan Pengeringsingan yakni teradisi mesabat-sabatan biyu atau sering disebut perang pisang, tradisi inilah yang membedakan antara tenganan dauh
tukad dan tenganan Pegringsingan selain adat
istiadat dan awig-awignya.
Melihat
kenyataan diatas tampaknya kehidupan masyarakat di desa Tenganan Dauh Tukad
sangat menarik untuk dikaji, bukan saja karena berbagai keunikannya tetapi juga
bagaimana Desa ini bisa bertahan dengan segala tradisinya ditengah gempuran pariwisata,
karena kawasan ini menjadi maskot desa wisata di Karangasem.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana Sejarah Desa Tenganan?
1.2.2 Bagaiman Letak Geografis Desa Tenganan Dauh
Tukad?
1.2.3 Bagaimana Adat Iistiadat Desa Tenganan Dauh
Tukad?
1.2.4 Bagaimana Perubahan Masyarakat Desa Tenganan
Dauh Tukad?
1.2.5 Bagaimana Perekonomian
Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.2.6 Bagaimana Setruktur Sosial Masyarakat
Tenganan Dauh Tukad?
1.2.7 Bagaiman Kerajinan Yang
Menjadi Ciri Khas Di Desa Tenganan Dauh Tukad?
1.3.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang
sudah dipaparkan di atas, maka tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk Mengetahui Sejarah Desa Tenganan.
1.3.2 Untuk Mengetahui Letak Geografis Desa
Tenganan Dauh Tukad.
1.3.3 Untuk Mengetahui Adat Iistiadat Desa Tenganan
Dauh Tukad.
1.3.4 Untuk Mengetahui Perubahan
Masyarakat Desa Tenganan Dauh Tukad
1.3.5 Untuk Mengetahui
Perekonomian Masyrakat Desa Tenganan Dauh Tukad
1.3.6 Untuk Menhgetahui Struktur
Sosial Masyrakat Tenganan Dauh Tukad
1.3.7 Untuk Mengetahui KerajiananYang
Menjadi Ciri Khas Desa Tenganan Dauh Tukad.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Desa Tenganan
2.1.1 Sejarah Desa Tenganan
Keberadaan Desa
Tenganan Dauh Tukad tidak bisa dipisahkan dari sejarah Desa Tenganan sebagai
cikal bakal desa ini. Untuk itu terlebih dahulu kita harus mengetahui bagaimana
sejarah Desa Tenganan itu sendiri. Daerah Tenganan berawal saat pemerintahan
Raja Maya Denawa. Pada zaman Bali Kuno dikenal seorang raja yang sangat
otoriter dan menganggap dirinya sebagai Tuhan dan melarang masyarakatnya
melakukan persembahan kepada Tuhan. Para dewa menjadi sangat murka dan mengutus
Dewa Indra untuk memerangi Raja Maya Denawa.
Setelah Dewa Indra dapat mengalahkan Raja Maya Denawa,
dilakukan satu upacara untuk membersihkan dan menyucikan kembali tempat
peperangan dan dunia secara keseluruhan. Upacara yang dilakukan disebut dengan
''Asvameda Yadnya'', menggunakan korban atau caru seekor kuda putih milik Dewa
Indra sebagai korban persembahan yang bernama Oncesrawa. Ketika mengetahui
dirinya akan dijadikan korban, kuda Oncesrawa melarikan diri dan menghilang.
Dewa Indra kemudian mengutus ''wong peneges'' prajurit Bedahulu untuk mencari kuda tersebut.
Mereka membagi diri menjadi dua kelompok, satu kelompok ke arah Singaraja dan satu
kelompok yang lain ke arah Karangasem. Kelompok yang pergi ke arah Karangasem
kemudian menemukan bangkai kuda Oncesrawa di lereng bukit, di daerah utara.
Karena kecintaannya terhadap kuda tersebut, ''wong
peneges'' memohon kepada Dewa Indra agar mengijinkan mereka tinggal di
sekitar Batu Jaran, tempat bangkai kuda ditemukan.
Dewa Indra mengabulkan permohonan ''wong peneges'' dan
memberikan hadiah atas usaha mereka. Hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra
berupa wilayah kekuasaan, dengan batasan luas sampai bau bangkai kuda tidak
lagi tercium. Karena menginginkan wilayah yang luas, ''wong peneges'' kemudian memotong
bangkai kuda dan dibawa berjalan sejauh mungkin. Tindakan tersebut diketahui
oleh Dewa Indra yang kemudian datang dan berdiri di sebuah tempat yang saat ini
dikenal dengan Batu Madeg. Ketika Dewa Indra tiba di Batu Madeg, ''wong peneges'' sudah sampai di satu
daerah yang cukup jauh. Dewa Indra melambaikan tangan dari Batu Madeg dan
memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai ''wong peneges'' sudah cukup luas. Pada tempat ''wong peneges'' tersebut berhenti kemudian didirikan Pura Pengulap-ulapan . Batas-batas
wilayah ini oleh masyarakat dikenal dengan nama Desa Tenganan.
Wilayah Tenganan ini merupakan hadiah yang diberikan oleh
Dewa Indra, maka masyarakatnya menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa
Indra sebagai dewa perang.
2.1.2 Sejarah Desa Adat Tenanan Dauh Tukad
Desa Adat Tenganan Dauh Tukad juga memiliki kaitan sejarah
dengan desa tetangga lainnya seperti Desa Tenganan Pesedahan (nama dalam
prasasti desa) dan Desa Tenganan Pagringsingan (desa Baliaga yang sudah
dikenal), yang tercatat dalam lontar Babad Rusak De Dukuh dan Gegaduhan Desa
Tenganan Pesedahan yang menyebut ada tiga komplek Tenganan yakni Tenganan Dauh
Tukad, Tenganan Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan, menyatu dalam satu kiblat
penyungsungan untuk mepahayu di Pura Rambut Petung yang ada di wilayah Desa
Adat Pesedahan sekarang.
Sekitar abad 17 saat kejayaan I Gusti Ngurah Sidemen,
penguasa tanah perdikan setempat
Dukuh Mangku yang sakti tinggal di Tenganan Dauh Tukad memiliki satu putra,
atas titah Dalem Gelgel putranya diminta untuk menjadi juru kurung. Namun Dukuh
Mengku menolak karena merasa hanya memiliki satu putra yang akan meneruskan
keturunannya. Atas penolakan itulah Dalem Gelgel marah dan mengutus I Gusti
Ngurah Sidemen (Mangku Basukih) menjalankan perintah Raja. Bersama I Gusti
Ngurah Abiantimbul, I Gusti Ngurah Sidemen didukung prajurit menyerang Dukuh
Mengku dari arah selatan. Banyak rakyat Dukuh Mengku tewas dalam perang hebat
hingga di wilayah tegal penangsaran (nama dalam babad) yang dikenal dengan Lapangan
Pakuwon Desa Pesedahan sekarang. Rakyat Dukuh Mengku akhirnya kalah, Dukuh
Mengku pun berfikir lalu membersihkan diri berpamitan seraya tangkil menyembah
ke Pura Rambut Tiding, mohon pamit kepada Ida
Sesuhunan untuk melakukan perang puputan. Usai sembahyang lalu berpakaian
serba putih turun ketimur melewati Tukad Pesedahan tiba di Lapangan Pakuwon
(disebut Tegal Panangsaran dalam babad ) itulah, Dukuh Mengku direbut oleh I
Gusti Ngurah Sidemen dan I Gusti Ngurah Abiantimbul tewas. Sisa rakyat Dukuh
Mengku lari tunggang langgang mengungsi ke bukit sebelah barat dan berbagai
arah. Kekalahan Dukuh Mengku ini setelah dilaporkan kepada Dalem Gelgel, lalu
diperintahkan agar krama yang masih ada diberikan hak istimewa tidak dikenakan
cecamputan kepada penduduk di Dauh Tukad dan tidak mengambil istri untuk raja,
yang selanjutnya diteruskan oleh trah raja yang memerintah di Karangasem,
tradisi itupun berlangsung sampai sekarang. Setelah itu Raja Dalem Gelgel
memerintah I Gusti Ngurah Tenganan untuk menata dan membangun desa lokasi
peperangan di Tenganan Pesedahan karena teringat akan kewajiban Mapahayu di
Pura Rambut Petung sebagai salah satu penyungsungan Raja yang perlu
diperhatikan. Sedangkan di Dauh Tukad diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Sidemen
keturunan I Gusti Ngurah di Tenganan bernama I Made Mencur kemudian diteruskan
I Made Bendesa ditugaskan melaksanakan pemerintahan dan aci-aci di Pura-Pura
setempat termasuk di Pura Petung.
Hingga kini sejarah Tenganan Dauh Tukad masih memiliki
hubungan dengan Desa Adat Pekarangan, Pesedahan dan Tenganan Pagringsingan,
baik dalam prosesi upacara maupun hubungan antar pakraman (penyamabrayaan).
Budaya campuran yang ada di Desa Pakraman Ttenganan Dauh Tukad atas pengaruh
dua masa berbeda pra Majapahit dan masa majapahit masih terpelihara hingga
kini.
2.2 Letak Geografis Desa Tenganan Dauh
Tukad.
Salah satu desa
kuno yang tidak kalah unik yang ada di Karangasem adalah Desa Adat Tenganan
Dauh Tukad. Desa yang terletak di kaki bukit Pegilihan, Tenganan Dauh Tukad
dapat ditempuh lewat jalan mulus berhotmix sekitar 2,5 Km dari jalan raya
menuju Desa Bali aga Tenganan Pagringsingan atau sekitar 23 Km dari Kota
Amlapura.
Desa Adat yang
memiliki keunikan dalam perjalanan sejarah peradabannya, kini tumbuh menjadi
Desa Wisata dengan lingkungan desa yang asri, tradisional dan eksotik.
Salah satu atraksi sakral yang dimiliki adalah Megeret Pandan (Perang Pandan), Metekrok, Tuun Medaa dan Meteruna setiap pelaksanaan Aci Usabha Sambah tepat pada Sasih Kelima menurut perhitungan
wariga setempat.
2.3 Adat Istiadat Desa
Tenganan Dauh Tukad
Keseharian
kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut
awig-awig. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu merah, batu sungai,
dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang
ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas berupa pintu
masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian
atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.
Penduduk Desa Tenganan
Dauh Tukad ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah
satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan
biu atau perang buah pisang.
Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara
bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam tes psikologis dan fisik bagi
calon pemimpin desa. Diikuti oleh teruna Desa Adat Tengana Dauh Tukad, yang
tujuannya untuk mencari pemimipin, yang dipilih untuk menjadi calon pemimipin
ada dua orang, yakni saya atau calon pemimipin
dan penampih atau wakil calon
pemimipin. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan
setempat yakni sekitar bulan Juli akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan atau perang
pandan. Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas
panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Perang pandan disini
mempunyai makna yaitu untuk pengormatan Dewa Indra yang sering disebut dewa perang.
Walaupun tradisi ini akan menimbulkan luka, mereka sudah memiliki obat
antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering
dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan
perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat.
Penduduk
Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra,
yang dipercaya sebagai Dewa Perang. Di desa Tenganan Dauh Tukad ini juga
terdapat tradisi Ngejot antara Teruna-Daa di Desa Pakraman Tenganan
Dauh Tukad hingga kini masih lestasi dilaksanakan dalam ritual prosesi
upacara agama terkait Aci Usaba Sambah
di desa setempat. Sebagai bagian dari prosesi Usabe Sambah upacara Teruna-Daa
Ngejot dipusatkan di Pura Bale Agung, dengan prosesi sebelumnya dilakukan
di masing-masing subak atau pusat aktifitas upacara Teruna maupun yang
dipusatkan di Pura Bale Agung yang menstanakan pemujan terhadap
Dewa Brahma, sebagai symbol Dewa pencipta alam semesta. Upacara yang digelar
selama 15 hari diawali Nedunang Ida
Betara, Nulak Damar, Penampahan, Metekrok, Daa Nyambah, Mekare-kare (Perang
Pandan), Ngepik, Perejangan dan Nyineb.
Dalam rangkaian upacara Ngepik
dilaksanakan prosesi upacara adat Sekaa
Teruna yang disebut Teruna-Daa Ngejot sebagai simbol menanamkan nilai
pendidikan, kegotong-royongan dan manyama braya agar bisa hidup harmonis
berdampingan saling menolong antara tetangga dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi ngejot juga wujud membagi
rezeki yang diperoleh untuk dirasakan bersama-sama. Dengan menggunakan
pakaian adat khas Tenganan Dauh Tukad, Teruna-Daa mengikuti prosesi upacara secara khusuk diselingi
suasana riang gembira saling bersorak tatkala antara Teruna – Daa melakoni prosesi
Ngejot, sambil mengucapkan pesan-pesan dari perwakilan masing-masing. Prosesi Ngejot antara Teruna dan Daa diawali oleh Sekaa Teruna
ngejot membawakan seperangkat jotan
berisi bunga harum, minyak wangi yang mengandung makna menghormati dan
menghargai wanita dengan simbol pemberian bunga dan wewangian yang menjadi
kesenangan wanita. Sebaliknya pihak Daa
memberikan jotan berupa aneka macam
jajan khas Bali yang bertempat di Bale Agung dan dibalas kembali oleh Sekaa
Teruna dengan jotan berupa nasi, sate dan bermacam olahan masakan Bali. Sebagai
symbol kebersamaan uacara Teruna-Daa
Ngejot diakhiri dengan makan bersama di halaman Pura Bale Agung, dimana
terjadi interaksi sosial pergaulan antara Teruna
dan Daa yang mempererat persatuan dan
kekerabatan.
Selain itu ada
sebuah teradisi yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat Bali Aga adalah tradisi
megibung atau yang biasa disebut makan bersama dalam satu tempat makan.
Megibung ini mempunyai makna untuk penyetaraan dan kebersamaan untuk
menunjukkan bahwa di Desa Teganan Dauh Tukad tidak ada kasta dan penggolongan
sosial.
2.4 Perubahan Masyarakat Desa Tenganan Dauh
Tukad.
Desa
Tenganan Dauh Tukad sangat benyak mengalami perubahan. Ini bisa dilihat dari
adat istiadat desa yang dulunya masyarakat di desa Tenganan Dauh Tukad tidak diperbolehkan
kawin atau mengawini orang selain dari dalam desa, Ssecara umum di berbagai
daerah di Indonesia dikenal adanya 3 sistem perkawinan yaitu.
1. Sistem
Endogami adalah system perkawinan ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang dari suku keluarganya sendiri.
2. System
Eksogami adalah system perkawinan ini orang di haruskan kawin dengan orang dari
luar suku keluarga.
3. System
Eleutherogami adalah system perkawinan ini tidak mengenal larangan atau
keharusan seperti dalamperkawinan endogami maupun eksogami. Larangan yang
terdapat dalam system perkawinan eleutherogami adalah larangan yang bertalian
dengan ikatan kekeluargaan.
Ketiga system
perkawinan tersebut di atas merupakan system perkawinan yang terdapat di
berbagai daerah di Indonesia, hal ini menandakan bahwa tiap-tiap daerah
memiliki ketentuan-ketentuan atau hukum adat yang sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya.
Tetapi seiring
bejalannya waktu dan majunya zaman teradisi Endogami ini di hilangkan, sekarang
masyarakat di Desa Tenganan Dauh Tukad boleh bebas kawin dan mengawini orang
yang bukan masyarakat Tenganan. Selain itu perubahan lain yang terjadi di Desa Tenganan
dari dulu mata pencarian masyarakatnya dominan sebagai petani namun seiring
perkembangan zaman, sekarang sebagian besar sebagai pelaku pariwisata, karena
desa ini menjadi desa wisata dan juga banyak juga masyarakatnya yang brkerja
keluar dari desanya, sehingga mereka mengambil pekerjaan di luar sector
pertanian..
Aktivitas mata pencaharian, boleh mengalami pergeseran,
sedangkan aktifitas yang menyangkut tuntutan adat masih tetap terjalin. Desa yang
di masa lalu mengutamakan kepentingan spiritual dan kebersamaan kini secara
nyata mulai bergeser ke arah kepentingan komersial dan pribadi. Hal tersebut
juga tercermin dalam rumah tinggal masyarakat, baik halaman dalam atau natah
maupun ruang dalamnya. Dalam pekarangan, masih terdiri beberapa tipe bangunan
bale-bale, tetapi pada aktifitas sehari-hari maka terlihat adanya pengaburan
fungsi bale-bale tersebut. Dalam hal ini unsur kepentingan ekonomi memegang peranan
yang cukup besar dalam pemanfaatan ruang. Pada
sebagian besar pekarangan terjadi perluasan ke arah belakang sehingga daerah
madia dan natah menjadi lebih luas untuk berfungsi sebagai tempat menjual
barang-barang kerajinan. Bangunan-bangunan yang tidak diwajibkan mengalami
perubahan lebih besar dibandingkan bangunan-bangunan yang diwajibkan,
Dari material bangunan kebanyakan menggunakan hasil
industri, yang dulunya hanya menggunakan hasil alam seperti batu sungai, batu
bata, tanah liat dan alang-alang sebagai atapnya, dalam pembangunan bangunan
baru, cenderung terjadinya modifikasi dari tradisional menuju model moderen.
Perubahan juga terjadi pada struktur masyarakatnya yang semula dipimpin
oleh seorang dukuh/kubayan sekarang dipimpin oleh Bendesa Adat atau yang
disebut dengan nama Bendesa pekraman.
Dalam kebudayan terjadi perkembangan seperti bahasa, selain menggunakan bahasa
bali dengan dealek khas yang fonetisnya menggunakan /o/, selain itu masyarakat
juga menggunakan bahasa bahasa Indonesia apabila berbicara dengan penduduk luar.
2.5 Perekonomian Masyarakat Desa Tenganan
Dauh Tukad
Aktivitas
keseharian warga Tenganan Dauh Tukad yakni bertani atau pun menekuni usaha
kerajinan tangan. Desa Tenganan Dauh Tukad memiliki lahan tegalan yang cukup
luas. Lahan itu ada yang digarap sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang
luar dan warga Tenganan Dauh Tukad hanya menerima hasilnya hal ini dilakukan
karena para pemuda tidak lagi mau bekerja sebagai petani dan lebih banyak
memilih bekerja ke luar desa atau merantau karena memungkinkan mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Selain bergerak dalam sektor pertanian warga Tenganan Dauh Tukad juga bergerak
dalam bidang usaha kerajinan yang ditekuni berkaitan erat dengan keberadaan
desa ini sebagai desa wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan Kain Geringsing,
ada yang membuat anyaman atta,
membuat lontar serta aneka cenderata mata untuk wisatawan. Sebagian besar hasil
karya masyarakat Tenganan Dauh Tukad di jual di desanya dan sebagian lagi di
jual keluar desa seperti arthshop dan toko-toko penjual hasil kerajianan. Menurut penuturan Wayan Swarnata,
penyarikan desa pekraman Tenganan Dauh Tukad, mengungkapkan bahwa hasil pertanian masyarakat Tenganan Dauh Tukad 50% yang
menghasilkan hasil kelapa, buah-buhan dan pisang, 20% adalah home industri yang
menghasilkan kain tenun, lontar, basket atau keranjang yang terbuat dari
tanaman atta yang dianyam berbentuk
keranjang dan barang lainnya, selain bekerja di desa 20% masyarakatnya bekerja keluar desa atau yang
sering disebut merantau, dan 10 % nya lagi sebagai pelajar dan juga sebagai
PNS..
2.6 Struktur Sosial Masyarakat Tenganan
Dauh Tukad
Secara
administratif Desa Tenganan terbagi dalam lima Banjar dinas, yakni
Pegringsingan, Dauh Tukad, Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Tenganan
Dauh Tukad terdapat dua banjar yakni Banjar Kaja dan Banjar Kelod. Disamping
kelompok-kelompok kerabat yang mengikat orang Bali berdasarkan atas prinsip
keturunan Pura Dadie, ada pula dalam bentuk kesatuan social yang didasarkan atas
kesatuan wilayah Khayangan Tiga, ialah desa.
Sistem pemerintahan Desa Adat tenganan Dauh Tukad Berbeda
dengan Sistem pemerintahan Pada Desa-desa dataran lainnya di Bali, desa adat Bali
Age biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli
yang lahir di desa itu juga. Sistem pemerintahan Desa Tenganan
Dauh Tukad dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Dinas dan Adat. Secara kedinasan Desa
Tenganan Dauh Tukad menjadi bagian dari Desa Dinas Tenganan Pagringsingan.
Struktur adat Desa Tenganan Dauh Tukad dibagi menjadi tujuh yaitu:
- Kelian Lingsir, merupakan penasehat pada Desa Tenganan
Dauh Tukad yang berjumlah 12 orang dengan kedudukan yang sama sebagai
penesehat. Pemilihan Kelian Lingsir berdasarkan umur tertua atau yang
paling dulu menikah.
- Penghulu, penghulu adalah penyelenggara upacara.
Selain itu tugas penghulu adalah memutuskan sesuatu dalam sebuah rapat
dalam menyelesaikan suatu masalah. Pemilihan Penghulu berdasarkan
keturunan. Dan orang yang menjadi penghulu bukan merupakan penduduk Asli
desa Adat Tenganan Dauh Tukad melainkan orang Sidemen Yang sudah lama
tinggal di daerah tersebut. Perpindahan orang Sidemen ke Desa Adat
Tenganan Dauh Tukad terjadi sudah sejak lama yaitu pada zaman majapahit.
Orang sidemen merupakan orang kepercayaan dari kerajaan majapahit yang
ditugaskan untuk memerintah di Tenganan Dauh Tukad pada zaman dulu.
Sebagai rasa penghormatan dari penduduk setempat setelah zaman
majapahit orang sidemen dalam
perkembangannya diberi kedudukan seperti: Penghulu dan Pemangku.
- Bendesa Adat atau biyasa disebut petengen,
merupakan pemimpin di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad. Yang bertugas
mengatur pmerintahan, politik dan
upacara keagamaan. Pemilihan bendesa adat dilakukan 5 tahun sekali,
dipilih secara aklamasi oleh pendududk Desa Adat Tenganan Dauh Tukad.
- Penyarikan, penyarikan merupakan sekretaris yang bertugas
mengurus surat-surat di desa adat.
- Subak Aci, yang bertugassebagai
penyelenggara dan pengatur jalannya upacara. Subak disini tidak seperti subak
di desa-desa lainnya yang begerak dibidang pertanian, tapi subak disini
bergerak di bidang upacara keagamaan.
- Subak Pengeraksa atau yang bertugas sebagai
bendahara tugas dari subak pengeraksa adalah mengatur keuangan Desa Adat
tersebut.
- Saya atau juru arah, yang mempunyai tugas
menyampaikan informasi kepada para penduduk desa, apabila ada rapat, dan
kegiatan-kegiatan di desa tersebut. Pergantian saya dilakukan satu tahun
sekali dengan orang-orang yang berbeda secara bergantian.
Masyarakat di
Desa Tenganan Dauh Tukad tidak mengenal
sistem pelapisan atau pengkastaan. Semua setara atau sederajat, pria dan wanita
memiliki kedudukan yang sama. Ini dibuktikan dengan adanya teradisi makan
bersama atau megibung maknanya untuk penyetaraan dan kebersamaan untuk
menunjukkan bahwa di Desa Teganan Dauh Tukad tidak ada kasta dan penggolongan
sosial.
2.7 Kerajinan Yang Menjadi Ciri Khas Di
Desa Tenganan Dauh Tukad
Selain tradisinya yang unik yaitu megeret pandan atau perang pandan dan mesabat-sabatan
biyu atau sering disebut perang
pisang. Desa Tenganan Dauh Tukad juga terkenal dengan hasil kain tenun yang luar biyasa. Kain Gringsing, demikian kain tenun
itu disebut, adalah karya kerajinan yang langka karena dibuat sangat rumit.
Selain memerlukan waktu yang cukup lama dengan warna-warna yang alami dari tumbuhan, cara menenunnya pun berbeda dengan
cara menenun kain pada umumnya.
Menurut Mitos Tentang Kisah Kain
Tenun Gringsing,
Dewa Indra dewa pelindung dan guru kehidupan bagi orang Tenganan terpesona
dengan keindahan langit di malam hari dan memaparkan keindahan tersebut melalui
motif tenunan kepada rakyat pilihannya, orang-orang Tenganan. Ia mengajarkan
kepada wanita-wanita teknik menenun kain
gringsing yang melukiskan, sekaligus mengabadikan keindahan Bintang, Bulan,
Matahari, serta hamparan langit lainnya. Kain tenun berwarna gelap alami yang
digunakan masyarakat setempat untuk kegiatan ritual agama atau adat dipercaya
memiliki kekuatan magis. Kain ini menjadi alat yang mampu menyembuhkan penyakit
dan menangkal pengaruh-pengaruh buruk. Keberadaan kain tenun ini terkenal di
kalangan peneliti budaya dunia tidak saja dari segi mitosnya, tetapi juga dari
segi teknik penenunannya.
Menenun Kain Geringsing
dan dalam proses pembuatannya adalah merupakan proses yang sangat rumit dengan
teknik double ikat yang memakan waktu
cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaannya berasal dan
alamiah. Kain Geringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat
digunakan untuk keperluan. upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya.
Menurut pandangan orang Tenganan bahwa kain geringsing mengandung nilai magis.
Hal ini dikatakan demikian karena kata geringsing berasal dan dua kata yaitu gering yang berarti “sakit” atau dan sing berarti “tidak”. Dan kedua akar
kata tersebut yaitu kata gering dan sing disatu padukan akan menjadi kata
geringsing yang dapat berarti tidak sakit atau menolak penyakit yang dapat
diperkirakan akan terhindar dan segala penyakit. Oleh karena demikian orang
Tenganan mempunyai pandangan bahwa kain
geringsing memiliki peranan atau fungsi yang amat penting.
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga
warna yang disebut Tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan
motif kain gringsing adalah 'babakan'
(kelopak pohon) Kepundung putih yang dicampur dengan kulit akar mengkudu
sebagai warna merah, minyak buah kemiri
berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna
kuning, dan pohon Taum untuk warna
hitam.
Dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis.
Namun, hingga kini yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis beberapa di antaranya
adalah:
- Lubeng, yang bercirikan dengan binatang kalajengking
dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan.
Ada beberapa macam motif Lubeng,
yaitu Lubeng Luhur yang
berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengking yang masih
utuh), Lubeng Petang Dasa (satu
bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
- Sanan Empeg, dilambangkan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng
berwarna merah-hitam.
- Cecempakaan, dilambangkan dengan bunga cempaka
dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Ada beberapa Jenis
diantaranya Cecempakaan Petang Dasa,
Cecempakaan Putri, dan Geringsing
Cecempakaan Pat Likur.
- Cemplong, dilambangkan dengan bunga besar di antara bunga-bunga
kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong.
- Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian
kain yang kosong.
- Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing
wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu
pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu
hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk
sosok wayang.. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang
putri hanya berisi motif wayang perempuan.
- Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, kain ini seringdigunakan untuk senteng pada wanita dan sabuk tubumuhan pada pria karena ukurannya yang kecil.
Proses
pembuatan kain gringsing dari awal
hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil
pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut
diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida
karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu.
Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak
kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut
bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan
penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang
akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri diambil
langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain
gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh
dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan
bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri,
keluak, tehep, dan durian)
yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya,
melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan
dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi
lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong
menggunakan tulang kelelawar.
Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang
sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan
akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan
pewarnaan yang sesuai. Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan
dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut
dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi
hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus
ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi
akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang
terlihat tegas
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bali Aga adalah
kelompok masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (pedalaman) Pulau Bali.
Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali Mula “ yaitu
orang-orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini
mandahului penduduk Bali Pedataran.
Menurut
sebagian catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah"
atau "ngatengahang" yang
memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut
berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke
daerah pemukiman di tengah perbukitan.
Desa
Tenganan Dauh Tukad sangat benyak mengalami perubahan salah satunya adat
istiadat desa yang dulunya masyarakat di desa tenganan dauh tukad tidak
diperboleh kawin atau mengawini orang selain dari dalam desa, tetapi seiring
bejalannya waktu dan majunya zaman teradisi ini di hilangkan, sekarang
masyarakat di desa tenganan dauh tukad boleh bebas kawin dan mengawini orang
yang bukan masyarakat tenganan.
3.2
Saran
Untuk
melestarikan kebudaya kita perlu peranan segala lapisan masyarakat. Bukan hanya
diberatkan kepada pemerintah, melainkan diri kita sendiri yang menyikapi
kebudayaan tersebut dengan bijaksana.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Koentjaraningrat.2002. Manusia dan kebudayaan di Indonesia.Jajarta:
Djambatan
-
Asmito.1992.Sejarah kebudayaan Indonesia.Jakarta:IKIP semarang press
-
Kubu Jingga Blog.pendidikan dukuh yang digempurdalem gelgel ( sejarah tenganan dauh
tukad).diunduh tanggal 18 mei 2011
-
http//.sejarah
kain tenun geringsing.co.id. diunduh tanggal 18 mei
2011